Translate

13 Feb 2017

Menyanggah Dalil Teman Ahok Dalam Memilih Pemimpin

Menyanggah Teman Ahok

Menyanggah Dalil Teman Ahok Dalam Memilih Pemimpin



Dalam sebuah diskusi seorang menyampaikan ke ane sebuah artikel berikut:

http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/awliya/isi.html

Hal ini terkait Pilkada Di DKI Jakarta tanggal 15 Februari 2017 dimana salah satu pasangan calon adalah orang non muslim yang bahkan tersandung kasus penistaan agama. Dia mengakatakan bahwa "jangan mau di bohongi pakai Al Maidah 51" bahkan di dalam bukunya dia mengatakan ayat ini ayat pemecah belah NKRI

Artikel ini selalu menjadi rujukan teman-teman ahok di berbagai kesempatan. Bahkan ane menilai teman2 ahok menganggap saudara Nadirsyah, si penulis adalah seorang pakar hadis, Al Quran, Tafsir dan segalanya, melebihi Imam An Nawawi, Imam Syafii maupun ulama-ulama tafsir yang ada di Indonesia.

Well ane gak membahas isi dari artikel saudara Nadirsyah, ulama sudah membahasnya, tapi ane membahas salah satu dalil Teman Ahok yang digunakan untuk pijakan amalan mereka memilih pemimpin. Dalil tersebut mengutip tulisan saudara Nadirsyah lewat Artikel dalam link di atas.

Mari kita bahas pembahasan saudara Nadirsyah....

Hal yang menarik adalah benar bahwa ketika beliau mengatakan sebuat ayat dalam Al Qur'an harus melihat asbabun nuzul dari ayat tersebut. Di sini ada dua hal yg ingin ane sorotin.

Pertama penolakan terhadap penafsiran makna Aulia sebagai pemimpin. Maka beliau sama saja mengatakan apa yang di ajarkan ulama2 selama ini salah. Padahal sebelum pilkada ini tidak satupun ulama dari berbagai mazhab mengajarkan bahwa makna Aulia tidak bisa di artikan sebagai pemimpin. Bahkan kejadian ini memunculkan sisi positif, banyak ulama2 yang kembali membahas tafsir tentang tidak bolehnya memilih pemimpin non muslim. Silahkan cari di Youtube baik ulama yang bermazhabkan malikiah, ahmad, syafi'i (misal ustad2 salafiah) atau ulama yang mengikuti mazhab Imam Ghazali dan Syafii (Nahdiyin) ataupun Ulama2 yang mengikuti imam syafi'i - hanafi (muhammadiya) dan banyak lagi, semuanya adalah ulama yang berkecimpung di dunia tafsir, mengerti fiqih dan bahasa arab (Nahwu Sharaf). Tidak satupun dari mereka mengatakan kata Aulia tidak bisa di tafsirkan sebagai pemimpin

Contoh, ulama tafsir yang menurut ane paling liberal sekalipun tetap menafsirkan kata tersbut (Aulia) sebagai "pemimpin". Silahkan dengar sendiri kajian Ust Quraish Shihab tentang tafsir Annisa 135 - 141

https://archive.org/details/4.25TafsirAlMishbahMetroTV1429HSuratAnNisaaAyat148152/4.01+Tafsir+Al+Mishbah+MetroTV+1429H+-+Surat+An+Nisaa+Ayat+1-3.mp3

Mengenai argumen bahwa tidak ada ayat-ayat atau hadis yang tegas yang melarang kepemimpinan non-Muslim jelas ini merupakan pendapat yang syadz (nyleneh, menyimpang) dalam tradisi pemikiran politik Islam. Sebab dalam masalah ini telah terjadi ijma' (kesepakatan) di antara para ulama. Tidak ada satu pun ulama di masa lalu, maupun di masa sekarang yang membolehkan secara mutlak kepemimpinan non-Muslim atas kaum Muslim. Shalah Al-Shawi dalam Al-Wajiz fi Al-Fiqh Al-Khilafah (Dar Al-I’lam Al-Dauly [tt.], hal. 22-23) menyebutkan bahwa syarat “Islam” bagi calon pemimpin kaum Muslim merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dari hukum Islam secara sangat mudah (‘ulima min ahkam al-imamah bi al-dharurah). Tugas kepemimpinan di dalam Islam salah satunya adalah menegakkan agama Islam (iqamah al-din al-islamy). Bagaimana mungkin orang yang tidak mengimani (kafir) terhadap ajaran Islam dapat menegakkan Islam?

Al-Qahi Iyadh berkata;

“Para ulama bersepakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan kepada orang kafir; dan bahkan bila pemimpin (Muslim) kemudian keluar dari Islam (kafir), maka dia harus turun.” (Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawâwi Jld. 12 hal. 229). Ibnu Mundzir juga mengatakan, “Seluruh ahli ilmu bersepakat bahwa orang kafir sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum Muslim dalam keadaan apapun.” (Ahkâm Ahl Al-Dzimmah li Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Jld. II hal. 414).

Umat Islam tidak boleh memilih orang kafir sebagai pemimpin sesungguhnya telah ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawi, seorang pentolan mazhab Syafiʿi yang diakui otoritasnya sebagai ahli fiqih dan ahli hadits sekaligus, dengan sangat eksplisit menyatakan dalam kitabnya bahwa syarat-syarat menjadi pemimpin (syuruṭ al-imamah) itu mestilah akil baligh (kawnuhu mukallafan), orang Islam (musliman), adil, merdeka (bukan budak), laki-laki, berilmu (ʿāliman), berijtihad (mujtahidan), pemberani, mempunyai visi dan kompetensi (dza raʾyin wa kafaʾah), dan sehat pendengaran maupun penglihatan (Lihat: Rawḍat aṭ-Ṭalibin, ed. Syeikh ʿAdil Aḥmad ʿAbdul Mawjud dan ʿAli Muḥammad Muʿawwaḍ, cet. Dar ʿAlam al-Kutub, Riyadh 1423/2003, jilid 7, hlm. 262).

Kesimpulannya, bukan ane mempertanyakan keilmuan Nadirsyah, tapi ane menyoroti cara dia menafsirkan ayat yg bertentangan dengan pendapat ulama pada umumnya yang jauh lebih Rajih dari pada dia.


Kedua, Ane menyoroti tentang makna "Aulia" itu sendiri yang saudara Nadirsyah coba sampaikan. Sebenernya tidak ada yang salah dalam hal ini. Justru sebaliknya semua yang dia sampaikan benar. Sekarang masalahnya ketika menggunakan tafsir ini bagaimana saudara Nadirsyah menerapkannyadi kehidupan nyata.

Mari kita bahas makna "Aulia" itu sendiri.

Secara linguistik, menjadikan mereka sebagai Aulia(Awlia) atau wali-wali itu berarti dua halPertama, jika lafaznya dibaca walayah (dengan fathah) maka berarti memberikan dukungan dan pembelaan, dan kedua jika lafaznya dibaca wilayah (dengan kasrah) maka berarti menyerahkan mandat atau memberi kekuasaan. Demikian menurut ar-Raghib al-Iṣfahani dalam kitab Mufradat Alfaẓ al-Qurʾan (ed. Ṣafwān ʿAdnan Dawudi, cet. Dar al-Qalam Damaskus, 1412/1992, hlm. 885). Maka secara politis dan geografis, muwalatul kuffar tidak hanya berarti menjalin kerjasama atau beraliansi, tetapi juga menyerahkan “wilayah” kita kepada orang kafir

Qiyas yang digunakan Nadirsyah sama dengan logika seperti ini: anda bisa saja menyimpulkan bahwa boleh saja seseorang memaki orangtuanya dengan menyebut kata “anjing!” karena di dalam Al-Qur’an (17:23) yang dilarang itu melontarkan kata “ah!” (terjemahan Departemen Agama untuk kata “uff”) dan bukan “kalb (anjing)” . Para mufassir seperti Abū Ḥayyān al-Andalusī dan as-Syawkānī menerangkan bahwa kata “uff” mengekspresikan “aku bosan!”, “aku muak!”, “aku nggak mau”, dan sebagainya. Kalau berkata-kata seperti itu saja dilarang, apatah lagi berkata “anjing” dan sejenisnya atau yang lebih kasar. 
Begitu pula kepada orang-orang kafir, kalau bersekutu saja dilarang, maka lebih dilarang lagi mengangkat mereka jadi pemimpin. Kalau beraliansi saja sudah dilarang, apatah lagi memberikan kekuasaan kepada mereka.

Saudara Nadirsyah cenderung pada penafsiran makna "Aulia" sebagai "teman", "penolong", "tempat menaruh kesetiaan/kepercayaan". Maka bukankah sama artinya seorang muslim dilarang berteman dengan orang non muslim? atau bila ane tarik menggunakan bahasa ayat, maka kalimatnya menjadi "salah satu tanda orang munafik adalah mereka yang menjadikan orang non muslim sebagai teman, penolong, tempat menaruh kesetiaan dan kepercayaan"

Terus bagaimana dengan seorang muslim yang menyatakan dirinya sebagai "TEMAN AHOK", atau Seorang muslim yang lebih sukan mencela muslim lainnya tapi ketawa2 dan bercanda bersama2, makan bersama dan sebagainya dengan orang non muslim. Bagaimana pula dengan seorang muslim yang lebih suka membela non muslim tapi gak sungkan2 membentak muslim lainnya bahkan seorang ustad dan ulama?

Menelaah kembali penafsiran alakadar Nadirsyah tersebut, Aulia dikatan sebagai "teman", "penolong", "tempat menaruh kesetiaan/kepercayaan" dengan demikian Aulia ini sendiri memiliki makna bahwa seorang muslim dilarang berteman dengan orang non muslim. Itulah penafsiran yang disampaikan saudara Nadirsyah. Menggunakan penafsiran ini maka sama saja melarang kita berteman dengan orang kafir. Lalu bagaimana dengan kegiatan ikut dalam kampanye orang kafir seperti "Teman Ahok" dan menaruh kesetiaan dan kepercayaan kepada orang kafir sebagaiman "Teman Ahok" lakukan? Bukankah ini sama saja menyalahi tafsiran mereka sendiri?

Silahkan bila mau menggunakan penafsiran seperti ini. Hanya saja bila pendapat ane sendiri (begitu pula ulama2 yang ane jadikan pegangan) bila di katakan menjadikan orang non muslim sebagai teman, penolong atau tempat menaruh kepercayaan saja tidak boleh apa lagi menjadikannya sebagai Ulil Amri.

Berikut makna Aulia yang pernah ane tulis:
http://www.iskandar-muda.web.id/2017/02/makna-aulia.html

http://www.iskandar-muda.web.id/2017/02/makna-aulia.html

Sumber acuan lainnya:
https://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2016/03/18/91319/bolehkah-kita-memilih-pemimpin-kafir.html
https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2016/05/01/94077/apakah-ibnu-taimiyyah-membolehkan-pemimpin-non-muslim.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gunakan kata-kata yang cerdas dan tidak merendahkan. Silahkan mengkritik bila ada yang menyimpang dari Ajaran Rasulullah. ^,^