Translate

14 Jun 2017

Antara Anti Vak dan Pro Vak, Debat Para Pencela

Antara Anti Vak dan Pro Vak


Kita tidak bisa meluruskan seseorang dengan tuduh menuduh maupun mencela mereka. Baru2 ini muncul lagi dan menghangat lagi pemahaman Imunisasi dan vaksin itu tidak perlu dilakukan. Hal itu tidak di ajarkan dan di Haramkan oleh agama? Benarkah?
ane katakan tidak benar!

Ada persamaan antara antivak dan provak di kebanyakan debat di Dunia Maya. Yaitu sama-sama merasa paling benar, namun tentu tidak semuanya. Beda dengan ulama yang mejelaskan keilmuan tanpa menyimpulkan macam2 bagi yg tidak mengikuti fatwanya.

Begini, ane ambil contoh ini:

Ust Khalid salah satu contoh ustad yang mengambil pendapat tidak ikut vaksin karena alasan halal Haram. Jama'ah Ust khald dan ust Firanda sama, sedang ust Firanda mengambil pendapat Vaksin itu boleh. So jamaahnya ada yg anti Vak dan yg pro vak. Bedanya ada yg tanpa ilmu ada yg berilmu. Ust Khalid cuma menyampaikan yg gak boleh itu vaksin berbahan dasar Haram sedangkan ust Firanda tidak mengatakan semua vaksin Halal.

Fatwa2 ulama tentang hukum vaksin sudah banyak. Sebaliknya dari semua debat yang ane saksikan lagi2 terbagi dua. Ada debat yang make ilmu ada yg make nafsu. Salah satunya adalah mengatakan yg anti vak itu aliran Qadariyah dan sebaliknya mengatakan pro vak itu gak wara. Antivak mengatakan yang pro vak itu bukan golongan yang taat sebaliknya yang provak mengatakan yang antivak itu kalangan yg gak berilmu. Bahkan sering kali menjeralisir mengatakan yg antivak itu sebagai kalangan wahabi sedangkan yang provak itu orang-orang Ikhwanul Muslimin.

Jelas semua itu tuduhan-tuduhan yang sama sekali tidak ada ilmunya. Bahkan orang-orang yang ane anggap baik sekalipun sering kali terjebak

Untuk meluruskan lebih baik kita kembali saja ke fatwa2 yang ada.





Sekedar catatan untuk blog ini dari Eramuslim yang disusun oleh Dr. Raehanul Bahraen, 16 Shafar 1433 H bertepatan 10 Januari 2012

Permasalahan utama adanya anggapan bahwa Thibun Nabawi itu sudah cukup tak perlu lagi berobat ke dokter. Salah satunya yaitu mengangap bahwa jika sakit seseorang harus bahkan wajib berobat dengan thibbun nabawi, kemudian ditambah lagi dengan adanya anggapan yang kurang benar mengenai kedokteran modern misalnya,

Berasal dari orang kafir
Menggunakan bahan kimia yang HANYA berbahaya bagi tubuh
Jika tidak menggunakan pengobatan nabawi berarti tidak memilih
pengobatan nabawi dan tidak mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.


Berikut contoh yang kami temui langsung dengan adanya kesalahpahaman tersebut.

Contoh pertama

Seorang senior kami penuntut ilmu agama [sekarang beliau adalah pengasuh situs islam yang cukup terkenal], ia sudah terkena demam cukup tinggi selama tiga hari, ditambah batuk dan pilek. Tetapi beliau tidak mau mengkonsumsi obat-obat kimia dari kedokteran barat, apalagi konsultasi ke dokter. Beliau hanya mengkomsumsi madu dan habbatus sauda selama sakit, akan tetapi qaddarullah, Allah belum berkehendak memberikan kesembuhan kepadanya, kemudian ustadz kami menanyakan kepada beliau kenapa tidak periksa ke dokter. Saya [penulis] juga sempat berdiskusi dengan beliau, saya berkata, mengapa tidak dikombinasi saja pengobatannya minum obat kedokteran barat dengan minum madu dan habbatus sauda. Karena demam tinggi jika tidak diobati akan berdampak cukup serius bagi tubuh. Dengan mengkonsumsi obat penurun panas sederhana seperti paracetamol maka demam tubuh bisa turun dan kondisi tubuh bisa lebih stabil untuk melakukan upaya penyembuhan sendiri melalui imunitas tubuh.

Contoh kedua

Ada seseorang yang berkata kepada saya [penulis] ketika membicarakan tentang diare, ia mengatakan jika seorang anak diare, tidak perlu dibawa ke dokter, cukup diberi campuran air minum plus madu maka diarenya bisa sembuh. Ia membuktikan bahwa anaknya sembuh dengan terapi tersebut. Kemudian ia berkata, jika di bawa ke dokter nanti malah diinfus seperti anak temannya, anaknya kesakitan disuntik infus kemudian butuh biaya juga buat infus.

Mengenai hal ini kami ingin menjelaskan bahwa dalam ilmu kedokteran modern, anak diare dan mengalami dehidrasi tidak langsung dipasang infus akan tetapi diterapi sesuai dengan tingkat dehidrasinya. Dalam kedokteran modern dehidrasi diare ada tiga derajat berdasarkan gejalanya:

1 . tanpa dehidrasi [kehilangan cairan <5% berat badan]
2. dehidrasi sedang [kehilangan cairan 5-10% berat badan]
3. dehidrasi berat [kehilangan cairan >10% berat badan]

[lihat Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak hal. 50, IDAI, 2004]


Untuk terapinya, diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan sedang diterapi dengan cairan oral, yaitu diberi minum seperti biasa [jika masih bisa minum] dengan menggunakan ukuran tertentu khususnya setelah diare dan muntah. Dan terapi dengan air minum plus madu adalah terapi yang tepat dalam kasus ini.

Akan tetapi pada kasus dehidrasi berat pada anak, terlebih lagi jika anak muntah-muntah dan tidak bisa minum karena pengaruh penyakitnya maka jalan terakhir adalah penggantian cairan melalui infus. Karena dehidrasi berat pada anak cukup berbahaya jika dibiarkan lama, bisa menyebabkan kematian, terlebih lagi pada anak yang umurnya masih beberapa bulan. Maka yang perlu kami sorot dalam kasus ini adalah, sikap anti total terhadap kedokteran barat modern dan seolah-olah kedokteran barat itu bertentangan semuanya dengan thibbun nabawi.

Memperbaiki Kesalahpahaman

Kami mencoba memperbaiki kesalahpahaman tersebut.

1. Kedokteran modern berasal dari barat

Anggapan semakin kuat dengan orang barat yang notabenenya kafir pasti meinginkan kehancuran bagi umat islam dan ada makar ingin menggantikan pengobatan nabawi pada umat islam. Maka hal ini terlalu jauh berpikir ke arah sana.

Perlu diketahui bahwa kedokteran barat modern yang sekarang merupakan pegembangan dari kedokteran yang dahulunya dikembangkan dan ditemukan oleh orang Islam dan para tabib cendikiawan muslim yaitu disaat Islam mencapai puncak kejayaannya dalam kemajuan ilmu pengetahuan seperti saat dinasti Abbasiyah. Tehnik pengobatan yang dikembangkan oleh tabib cendikiawan muslim itu bahkan hampir dipakai di seluruh dunia. Dan banyak dokter dan tabib dari negara lain yang datang belajar kepada tabib muslim saat itu.

Kemudian di saat dinasti Abbasiyah runtuh, maka orang-orang kafir yang menggulingkan dinasti Abbasiyah mengambil semua ilmu dan menguasai perpustakaan sumber ilmu. Kemudian mereka orang-orang kafir berlomba-lomba mengklaim diri mereka dan mengumumkan kepada dunia bahwa mereka sebagai penemu teori dan ilmu pengetahuan di saat itu. Padahal tidak sedikit dari mereka yang hanya mencontoh total penemuan ilmu pengetahuan yang sudah ditemukan sebelumnya oleh cendikiawan muslim. Termasuk dalam hal ini ilmu kedokteran. Sehingga tidak benar sepenuhnya kedokteran barat adalah hasil usaha mereka dan berasal dari orang kafir barat.

Kita bisa membaca sejarah bagaimana tabib cendikiawan muslim dahulunya dengan kitab-kitab pedoman kedokteran karangan mereka dan buku-buku mereka bahkan ada yang menjadi pegangan kedokteran barat sampai saat ini. Sebutlah tabib muslim seperti Muhammad bin Zakaria Al-Razi di barat dikenal dengan Razes, ahli bedah Al-Zahrawi dikenal dengan Abulcasis, Ibnu Rusdy atau Averroes, Ibnu El-Nafis, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan masih banyak yang lainnya.

Kemudian walaupun pengembangan selanjutnya dilakukan oleh ilmuan barat yang notabenenya kafir, maka kita tidak semata-mata langsung berpikiran negatif dan tidak berlaku adil kepada mereka. Jika memang ilmu kedokteran tersebut bermanfaat dan benar maka kita perlu juga mempelajarinya dan bisa menggunakannya. Sebagaimana fasilitas saat ini seperti mobil, kereta, pesawat dan alat-alat elektronik lainnya. Kita tetap harus adil dalam menyikapi hal ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” [Al-Mumtahah: 8]

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah,

لا ينهاكم الله عن البر والصلة، والمكافأة بالمعروف، والقسط للمشركين، من أقاربكم وغيرهم،حيث كانوا بحال لم ينتصبوا لقتالكم في الدين والإخراج من دياركم، فليس عليكم جناح أن تصلوهم، فإن صلتهم في هذه الحالة، لا محذور فيها ولا مفسدة

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak terlarang dan tidak mengandung kerusakan.” [Taisir Karimir Rahmah hal. 819, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Ke-1, 1424 H]

2. Menggunakan bahan kimia yang HANYA berbahaya bagi tubuh

Memang obat-obat kedokteran barat modern menggunakan bahan kimia. Tetapi bahan kimia yang digunakan sudah diteliti dan sudah diatur dosisnya agar sesuai dengan terapi yang diinginkan. Dan ini juga berlaku pada beberapa obat-obat alami dan thibbun nabawi, jika dosis habbatus sauda berlebihan dikonsumsi maka akan berefek negatif bagi tubuh karena habbatus sauda mengandung bahan aktif seperti thymoquinone (TQ), dithymouinone (DTQ), thymohydroquimone (THQ) dan thymol (THY).

Dalam kedokteran barat modern dikenal ungkapan,

“ All substances are poison. There is none that is not poison, the right dose and indication deferentiate a poison and a remedy”

“Semua zat adalah [berpotensi menjadi] racun. Tidak ada yang tidak[berpotensi menjadi] racun. Dosis dan indikasi yang tepat membedakannya apakah ia racun atau obat”

[Toksikologi hal. 4, Bag Farmakologi dan Toksikologi UGM, 2006]

Oleh karena itu, kedokteran modern barat dalam teorinya tidak gegabah begitu saja dalam memberikan terapi obat-obatan kimia. Tetapi sesuai dengan dosis dan indikasi pengobatan. Jika penyakit dibiarkan dan lebih berbahaya, maka lebih baik memkonsumsi obat bahan kimia yang walaupun juga asalnya berbahaya tetapi bisa menyembuhkan dengan dosis yang tepat. Begitu juga dengan operasi pembedahan, dilakukan sesuatu yang berbahaya bagi tubuh “merusaknya” dengan menyayat dan membelah, tetapi ini demi kesembuhan. Prinsip ini diajarkan dalam Islam seusai dengan kaidah fiqhiyah,

إذا تعارض ضرران دفع أخفهما

” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “

Dan jika kita kembali ke pengertian zat kimia, maka zat kimia itu ada yang alami dan ada yang buatan. Obat-obatan pada kedokteran modern juga ada yang menggunakan bahan kimia alami. Begitu juga dengan bahan thibbun nabawi seperti habbatus sauda juga mengandung zat kimia aktif seperti thymoquinone (TQ), dithymouinone (DTQ), thymohydroquimone (THQ) dan thymol (THY) yang merupakan zat aktif. Zat kimia aktif bisa lebih berbahaya jika mencapai dosis tertentu. Sehingga perlu juga dilakukan penelitian mengenai dosis dan indikasinya atau pengobatan dengan habbatus sauda di lakukan oleh ahlinya yang tahu metode pengobatan dan berpengalaman. Kita percaya benar bahwa habbatus sauda adalah obat segala penyakit, tetapi orang yang meramu dan melakukan pengobatannya juga harus ahli. Sebagaimana pedang yang sangat tajam, tetapi untuk berfungsi dengan baik saat peperangan misalnya perlu tangan terlatih yang menggunakannya.

3. Jika tidak menggunakan pengobatan nabawi berarti tidak memilih pengobatan nabawi dan tidak mengikuti sunnah

Ini adalah pandangan kaku sebagian kecil saudara kita, perlu diketahui hukum asal berobat adalah mubah karena ini adalah masalah dunia dan tidak berkaitan dengan ibadah. Sesuai dengan kaidah fiqhiyah,

الأصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal sesuatu [perkara dunia] adalah mubah”

Begitu juga dengan thibbun nabawi, akan tetapi jika bisa mendapat pahala jika melakukan thibbun nabawi atas dasar kecintaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena perkara mubah bisa menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Selaras dengan kaidah fiqhiyah,

الوسائل لها أحكام المقاصد

“hukum wasilah [perkara mubah] sesuai dengan hukum tujuan”

Oleh karena itu seseorang boleh berobat dengan thibbun nabawi, boleh juga tidak dan jika ia tidak menggunakan thibbun nabawi ia tidak berdosa dan tidak tercela. Ia menjadi tercela jika tidak beriman dan tidak percaya keutamaan thibbun nabawi. Misalnya tidak percaya, bahwa air zam-zam itu khasiatnya sesuai hajat peminumnya, tidak percaya bahwa madu itu penyembuh bagi manusia [syifaa’un linnaas]. Tidak percaya bahwa habbatus sauda adalah obat segala penyakit dan lain-lain. Karena dalil-dalil tersebut sahih.

Thibbun nabawi sebaiknya diutamakan dan sebaiknya bukan alternatif

Ini bukan berarti wajib menggunakan thibbun nabawi, tetapi sebaiknya diutamakan dalam melakukan pengobatan. Tetapi perlu diingat juga, jika ada yang memilih tidak menggunakan thibbun nabawi maka ia tidak berdosa dan tidak tercela. Selayaknya kita sebagai umat Islam lebih mengutamakan thibbun nabawi, Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,

طب النبي صلى الله عليه وسلم متيقنلبرء لصدوره عن الوحي وطب غيره أكثره حدس أو تجربة

“Pengobatan ala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini mendatangkan kesembuhan karena bersumber dari wahyu, sedangkan pengobatan yang lainnya, kebanyakan berdasarkan praduga dan eksperimen.” [Fathul Baari 10/170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah]

Obat alami dahulu baru obat kimia

Salah satu kampanye yang digaungkan di zaman modern ini adalah “back to nature”, kami sangat setuju dengan hal ini, terlebih-lebih jika menggunakan thibbun nabawi dan zat-zat yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah seperti Madu dan Habbatus sauda.

Seorang ulama besar sekaligus dokter di zamannya Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullahu berkata,

وقد اتفق الأطباء على أنه متى أمكن التداوي بالغذاء لا يعدل عنه إلى الدواء، ومتى أمكن بالبسيط لا يعدل عنه إلى المركب.قالوا وكل داء قدر على دفعه بالأغذية والحمية، لم يحاول دفعه بالأدوية

“Sungguh para tabib telah sepakat bahwa ketika memungkinkan pengobatan dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan (kimiawi, pent.). Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan beralih memakai obat yang kompleks. Mereka mengatakan, ‘Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan dan tindakan preventif tertentu, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan’.” [Thibbun Nabawi lii Ibnil Qayyim hal. 9, Maktabah Ats-Tsaqafi, Kairo]

Oleh karena itu jika sakit maka sebaikinya jangan langsung mengkonsumsi obat-obat kimia, sebaiknya menggunakan bahan alami dahulu. Atau jika penyakitnya cukup ringan tidak perlu menggunakan obat, biarlah imunitas tubuh yang bekerja sehingga imunitas tubuh juga tidak manja dan terlatih melawan penyakit. Tetapi ini adalah pilihan karena pengobatan juga melibatkan faktor sugesti, ada yang sugestinya sembuh jika menggunakan obat alami tertentu, sembuh dengan sugesti dengan obat kimia tertentu.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak diutus menjadi ahli pengobatan

Bisa kita lihat dalam kisah hadist berikut,

عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ

Dari Sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah] mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” [HR. Abu Dawud no.2072]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ramuan obat yang sebaiknya diminum, akan tetapi beliau tidak meraciknya sendiri tetapi meminta sahabat Sa’ad radhiallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin Kalidah sebagai seorang tabib. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tahu ramuan obat secara global saja dan Al-Harits bin Kalidah sebagai tabib mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik, kombinasi dan indikasinya.

Jadi pengobatan yang diberi petunjuk oleh Islam dalam thibbun nabawi bukan satu-satunya cara untuk berikhtiar mencapai kesembuhan, metode pengobatan lainnya juga bisa digunakan untuk mencapai kesembuhan atas izin Allah Ta’ala. Terlebih lagi jika pengobatan sudah teruji dan terbukti melalui penelitian dan eksperimen, artinya lebih banyak yang sembuh menggunakannya dari pada yang tidak sembuh. Pengobatan lainnya seperti kedokteran cina, kedokteran Yunani dan termasuk kedokteran barat modern saat ini.

Ada yang tidak sembuh dengan thibbun nabawi

Mengapa bisa tidak sembuh? Padahal jelas thibbun nabawi bahwa obat bagi segala macam penyakit, penyembuh bagi manusia. Maka jawabannya cukup panjang jika dijabarkan, namum di sini kita bahas beberapa aspek saja. semoga di lain kesempatan kita bisa membahasnya dengan panjang lebar.

Salah satu penyebab tidak sembuh adalah kurang tepat dalam:
  • mendiagnosa penyakit 
  • memilih obat 
  • menggunakan dosis obat 
  • menghindari berbagai pantangan yang dapat menghambat kerja atau 
  • berkebalikan kerjanya dengan obat 
Sehingga walaupun sudah pasti habbatus sauda adalah obat bagi segala macam penyakit dan madu adalah penyembuh bagi manusia [syifaa’un linnaas], akan tetapi ini masih bahannya saja, perlu kemampuan lagi untuk tepat dalam mendignosis penyakit, memilih obat, menggunakan dosis obat, meraciknya dan mengkombinasi dengan obat yang lainnya. Sehingga untuk lebih efektif pengobatannya lebih baik berkonsultasi kepada ahlinya atau tabib.

Sementara apa yang diterapkan pada kasus contoh pertama yang kami sebutkan di atas, hanya mengkonsumsi habbatus sauda dan madu secara biasa [asal-asalan] dan dilakukan secara mandiri tanpa tahu apa penyakitnya, bagaimana dosisnya dan bagaimana racikannya. Ini juga yang dilakukan sebagian kecil saudara kita.

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,

فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik… karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.” [Fathul Baari 10/169-170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah]

Begitu juga dengan Al-Quran yang diturunkan sebagai penyembuh baik penyakit hati dan badan, kita bisa contoh dalam hadits sahabat Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu membacakan ruqyah Al-Fatihah kepada kepala suku yang tersengat kalajengking dan atas izin Allah Ta’ala sembuh. Lalu ada yang pernah mencoba dengan pasien yang sakit demam ringan tetapi qaddarullah tidak sembuh. Maka bukan Al-Qurannya yang salah tetapi manusianya yang kurang Iman dan tawakkalnya. Ibaratnya thibbun nabawi adalah sebuah pedang yang pasti tajam, akan tetapi pedang tajam tersebut berguna dengan tepat jika dipegang oleh ahlinya.

Di zaman ini di mana sangat sulit kita mendapatkan orang seperti sahabat Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, maka tidak menutup kemungkinan pengobatan lain juga bisa digunakan seperti kedokteran barat modern dan pengobatannya juga bisa dikombinasikan dan berjalan bersamaan.

Kedokteran modern barat yang diakui oleh dunia

Sekali lagi kita tidak perlu anti total terhadap kedokteran modern barat karena prinsip kedokteran barat adalah berdasarkan penelitian ilmiah dan melalui berbagai macam tingkat pengujian dan percobaan atau apa yang dikenal dengan istilah evidance based medicine. Bahkan pengobatan tradisional dan pengobatan lainnya jika sudah melewati tahap peneltian dan berhasil maka akan dimasukkan dalam metode pengobatan modern barat seperti akupuntur yang sudah banyak digunakan oleh dokter dan sudah ada di berbagai rumah sakit.

Kedokteran modern barat sudah banyak terbukti, dipakai dan diakui oleh hampir seluruh negara di dunia. Kami melihat sendiri di UGD rumah sakit bagaimana kasus-kasus gawat darurat yang jika tidak ditangani dengan cepat maka akan menerenggut nyawa. Seperti hipoglikemi, keracunan bisa ular, hipotensi, hipertensi dan kasus syok kehilangan kesadaran, maka dengan terapi kedokteran modern saat ini semua itu bisa ditangai lebih awal atau minimal menyelamatkan nyawa seseorang.

Satu lagi yang kami ingin sampaikan bahwa setahu kami, pengobatan dengan bahan-bahan alami dan tradisional memiliki cara kerja yang bersifat umum dan kurang spesifik seperti memperlancar peredaran darah, meningkatkan daya tahan tubuh dan mengaktifkan saraf yang kurang bekerja.

Sebagaimana habbatus sauda, penelitian ilmiah membuktikan bahwa habbatus sauda dapat meningkatkan daya tahan tubuh, dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar bahwa habbatus sauda obat bagi segala macam penyakit karena teorinya jika daya tahan tubuh baik dan meningkat maka semua penyakit pasti akan sembuh. Akan tetapi jika hanya mengandalkan daya tahan tubuh maka untuk penyakit yang agak berat mungkin akan memakan waktu yang lama, belum lagi jika ada penyulitnya seperti penyakit tersebut bisa menekan daya tahan tubuh, misalnya penyakit kanker atau infeksi bakteri ganas.

Maka kedokteran modern barat dengan penelitian ilmiah sampai ke tingkat sel dan reseptor sel, bisa memilih obat yang spesifik dan langsung bekerja menemui sasarannya. Langsung melawan sel kanker dan langsung bisa melawan bakteri. Sehingga diharapkan penyembuhan bisa terjadi dengan lebih cepat. Apalagi jika kedua pengobatan barat modern dan thibbun nabawi dikombinasikan, maka diharapkan penyembuhan bisa lebih cepat lagi dengan izin Allah Ta’ala.

Penutup
Semoga apa yang kami sampaikan bisa berguna bagi kita semua, semoga semakin banyak dokter dan cendikiawan muslim yang bisa mengembangkan thibbun nabawi dan mempopulerkannya kembali di masyarakat dan semoga dokter muslim kembali menguasi pengobatan modern yang dahulunya dikuasai oleh kaum muslimin. Terlebih-lebih mereka bisa mengkombinasikannya dengan thibbun nabawi.

Hal Ini mengingatkan kami dengan apa yang menjadi penyesalan Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu kepada kelalaian umat Islam terhadap Ilmu medis sehingga beliau berkata,

ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى

“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.” [Siyar A’lam An-Nubala Adz-Dzahabi 8/258, Darul Hadits, Koiro, 1427 H, Asy-Syamilah]

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid

16 Shafar 1433 H bertepatan 10 Januari 2012

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen


Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, SS. MA. hafizhohullah[beliau adalah guru agama penulis, kami banyak mengambil ilmu dari beliau]


Artikel www.muslimafiyah.com dipublikasi ulang oleh www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/8237-haruskah-kedokteran-modern-dan-thibbun-nabawi-dipertentangkan.html

Eramuslim: Fatwa Para Ulama, Ustadz, Dan Ahli Medis Tentang Bolehnya Imunisasi






di tulis oleh dr. Raehanul Bahraen 24 January 2014 sebagai catatan pribadi di bog ini:


Kami berusaha mengumpulkan fatwa ulama, keterangan para ustadz dan ahli medis mengenai bolehnya imunisasi. Sehingga kami berharap saudara kita, muslim yang lainnya bisa menghormati muslim yang melaksanakan fatwa para ulama dan keterangan ustadz yang membolehkan imunisasi. Tidak mencela mereka yang melaksanakan imunisasi, apalagi sampai mempertanyakan keimanannya karena dianggap tidak percaya dengan thibbun nabawi atau tidak tawakkal dengan apa yang Allah anugrahkan yaitu imunitas alami tubuh. Ini adalah pernyataan yang kurang tepat.

Kami juga sampai saat ini belum mendapatkan fatwa ulama dunia -yang diakui keilmuannya oleh dunia islam yang bersifat internasional – yang mengharamkan imunisasi dan vaksinasi. Jika ada yang mendapatkannya, kami harap memberi tahu, sebagai pertimbangan kami untuk membuat kelanjutan tulisan selanjutnya.



Daftar Sumber Fatawa

Berikut sumber fatwa ulama dan keterangan para ustadz:

A. Fatwa-Fatwa Ulama Dunia

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, mufti besar Kerajaan Arab Saudi ketua Lajnah Daimah dan Mantan Rektor Universitas Islam Madinah
Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah, imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen ilmu-ilmu keagamaan, pengasuh situs www.islam-qa.com
Fatwa Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian [المجلس الأوربي للبحوث والإفتاء]

B.Fatwa Lembaga dan Organisasi Islam di Indonesia

Fatwa MUI [Majelis Ulama Indonesia]
Fatwa dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Fatwa LBM-NU [Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama] Indonesia

C. Keterangan Para Ustadz di Indonesia

Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA hafizhahullah, lulusan Doktoral Fikh Universitas Islam Madinah, pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), kontributor Yufid.TV, dosen STDI Imam Syafi’i Jember
Ustadz Firanda Andirja, MA hafizhahullah, pengajar di masjidil Nabawi, lulusan Master jurusan Akidah Universitas Madinah, calon Doktor di jurusan yang sama, pengasuh situs firanda.com
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah, lulusan Markaz Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Pimred Majalah Al-Furqon
Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, MA hafizhahullah, lulusan Pascasarjana Jurusan Ulumul Hadits, Islamic University of Medina, KSA.
Ustadz Aris Munandar, SS. MA hafizhahullah, pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), pembina PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta, pembina Mahad Al Ilmi Yogyakarta, aktif mengisi kajian dan daurah di Yogyakarta dan sekitar.
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST hafizhahullah, Lulusan S1 Teknik Kimia UGM, lulusan S2 Master of Chemical Engineering di Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA, pembina PP Darus Sholihin Yogyakarta, pimpinan redaksi Muslim.Or.Id, pengasuh situs Islami www.rumaysho.com, pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), murid Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah.

Kemudian kami tambahkan keterangan dari ahli dan pakarnya. menerapkan perintah Allah Ta’ala,


فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Tanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak tahu”. (An Nahl : 43).

D.Keterangan Dokter dan pakar ahli

Dari dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi, beliau adalah:
Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia 2002-2008
Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI).
Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial, Magister Sains Psikologi Perkembangan.
Teks Fatawa

Berikut rincian dan penjelasannya:

A. Fatwa-Fatwa Ulama Dunia



1. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah



Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi ketua Lajnah Daimah dan Mantan Rektor Universitas Islam Madinah

Ketika beliau ditanya ditanya tentang hal ini,

ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟

“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa musibah?”

Beliau menjawab,

لا بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع لبلاء الذي يخشى منه لقول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح: «من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر ولا سم (1) » وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو في أي كان لا بأس بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه.

“La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”

Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.

[sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238]


2. Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah

Imam masjid dan khatib di Masjid Umar bin Abdul Aziz di kota al Khabar KSA dan dosen ilmu-ilmu keagamaan, pengasuh situs www.islam-qa.com

Dalam fatwa beliau mengenai imunisasi dan valsin beliau menjawab. Rincian bagian ketiga yang sesuai dengan pembahasan imunisasi dengan bahan yang haram tetapi memberi manfaat yang lebih besar. syaikh berkata,

لقسم الثالث : ما كان منها مواد محرَّمة أو نجسة في أصلها ، ولكنها عولجت كيميائيّاً أو أضيفت إليها مواد أخرى غيَّرت من اسمها ووصفها إلى مواد مباحة ، وهو ما يسمَّى ” الاستحالة ” ، ويكون لها آثار نافعة .

وهذه اللقاحات يجوز تناولها لأن الاستحالة التي غيَّرت اسم موادها ومواصفاتها قد غيَّرت حكمها فصارت مباحة الاستعمال .

“rincian ketiga: vaksin yang terdapat didalamnya bahan yang haram atau najis pada asalnya. Akan tetapi dalam proses kimia atau ketika ditambahkan bahan yang lain yang mengubah nama dan sifatnya menjadi bahan yang mubah. Proses ini dinamakan “istihalah”. Dan bahan [mubah ini] mempunyai efek yang bermanfaat.

Vaksin jenis ini bisa digunakan karena “istihalah” mengubah nama bahan dan sifatnya. Dan mengubah hukumnya menjadi mubah/boleh digunakan.”

[Dirangkum dari sumber: http://www.islam-qa.com/ar/ref/159845/%D8%AA%D8%B7%D8%B9%D9%8A%D9%85 ]


3. Fatwa Majelis Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian [المجلس الأوربي للبحوث والإفتاء]

Memutuskan dua hal:


أولا: إن استعمال هذا الدواء السائل قد ثبتت فائدته طبيا وأنه يؤدي إلى تحصين الأطفال ووقايتهم من الشلل بإذن الله تعالى، كما أنه لا يوجد له بديل آخر إلى الآن، وبناء على ذلك فاستعماله في المداواة والوقاية جائز لما يترتب على منع استعماله من أضرار كبيرة، فأبواب الفقه واسعة في العفو عن النجاسات – على القول بنجاسة هذا السائل – وخاصة أن هذه النجاسة مستهلكة في المكاثرة والغسل، كما أن هذه الحالة تدخل في باب الضرورات أو الحاجيات التي تن-زل من-زلة الضرورة، وأن من المعلوم أن من أهم مقاصد الشريعة هو تحقيق المصالح والمنافع ودرء المفاسد والمضار.


ثانيا: يوصي المجلس أئمة المسلمين ومسئولي مراكزهم أن لا يتشددوا في مثل هذه الأمور الاجتهادية التي تحقق مصالح معتبرة لأبناء المسلمين ما دامت لا تتعارض مع النصوص القطعية

Pertama:

Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya.

Kedua:

Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qath’i).

[Sumber: http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203]


B.Fatwa Lembaga dan Organisasi Islam di Indonesia

1. Fatwa MUI [Majelis Ulama Indonesia]

Fatwa MUI 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M [Fatwa Terbaru MUI]
Fatwa no. 06 tahun 2010 tentang: Penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah

Menetapkan ketentuan hukum: 

Vaksin MencevaxTM ACW135Y hukumnya haram
Vaksin Menveo meningococal dan vaksin meningococcal hukumnya halal
Vaksin yang boleh digunakan hanya vaksin yang halal
Ketentuan dalam fatwa MUI nomor 5 tahun 2009 yang menyatakan bahwa bagi orang yang melaksanakan wajib haji atau umrah wajib, boleh menggunakan vaksin meningitis haram karena Al-hajah [kebutuhan mendesak] dinyatakan tidak berlaku lagi

[sumber: http://jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/fatwavaksin.pdf ]

2. Fatwa dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pertanyaan dari Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup, tentang status hukum vaksin, khususnya untuk imunisasi polio yang dicurigai memanfaatkan enzim dari babi.

Jawaban:

Sebagai kesimpulan, dapatlah dimengerti bahwa vaksinasi polio yang memanfaatkan enzim tripsin dari babi hukumnya adalah mubah atau boleh, sepanjang belum ditemukan vaksin lain yang bebas dari enzim itu. Sehubungan dengan itu, kami menganjurkan kepada pihak-pihak yang berwenang dan berkompeten agar melakukan penelitian-penelitian terkait dengan penggunaan enzim dari binatang selain babi yang tidak diharamkan memakannya. Sehingga suatu saat nanti dapat ditemukan vaksin yang benar-benar bebas dari barang-barang yang hukum asalnya adalah haram.

[sumber: http://www.fatwatarjih.com/2011/08/hukum-vaksin.html ]

3. Fatwa LBM-NU [Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama] Indonesia

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan menindak lanjuti hasil sidang Lembaga Bahtsul Matsail NU (LBM-NU). Kesimpulan sidang menyatakan secara umum hukum vaksin meningitis suci dan boleh dipergunakan.

Menurut Katib Aam Suriah PBNU, Malik Madani, keputusan tersebut merupakan kesimpulan di internal LBM-NU. Secara pasti, hasilnya akan segera dibahas di kalangan suriah. ‘Tunggu hasilnya bisa disetujui dan bisa tidak,’ ujar dia kepada Republika di Jakarta, Rabu (1/9)

Apapun hasilnya kelak, ungkap Malik, PBNU merekomendasikan ke pemerintah agar melakukan vaksinasi kepada para jamaah haji dengan memakai vaksin yang halal berdasarkan syari’i. Hal ini penting, agar jamaah haji mendapat rasa nyaman dan kekhidmatan beribadah. Selain itu, masyarakat dihimbau tidak terlalu resah dengan informasi apapun terkait vaksin meningitis yang belum jelas.

Ketua LBM-NU, Zulfa Musthafa, mengemukakan berdasarkan informasi dan pemaparan sejumlah pakar dalam sidang LBM-NU diketahui bahwa semua produk vaksin meningitis pernah bersinggungan dengan enzim babi. Termasuk produk yang dikeluarkan oleh Novartis Vaccine and Diagnostics S.r.i dan Meningococcal Vaccine produksi Zheijiang Tianyuan Bior Pharmaceutical Co. Ltd. Akan tetapi, secara kesuluruhan hasil akhir produk-produk tersebut dinilai telah bersih dan suci.

Zulfa menuturkan, dalam pembahasannya, LBM-NU tidak terpaku pada produk tertentu. Tetapi, pembahasan lebih menitik beratkan pada proses pembuatan vaksin. Hasilnya, secara umum vaksin meningitis suci dan boleh dipergunakan. ”Dengan demikian, vaksin jenis Mancevax ACW135 Y, produksi Glaxo Smith Kline (GSK), Beecham Pharmaceutical, Belgia pun bisa dinyatakan halal,” tandas dia

[sumber: http://hileud.com/lbm-nu-semua-vaksin-meningitis-bisa-digunakan.html ]

C. Keterangan Para Ustadz di Indonesia

1. Ustadz DR. Arifin Badri, MA hafizhahullah

Beliau berkata dalam buku “Imunisasi Syariat”:

“sebagai contoh nyata bagi apa yang saya paparkan ialah: apa yang beberapa lalu hangat dibicarakan, yaitu isu bahwa sebagian vaksin imunisasi meningitis yang [katanya] pada proses produksinya mengggunakan enzim tripsin yang berasal dari serum babi.

Semestinya isu ini ditindak lanjuti oleh pakar ilmu medis dari umat Islam, terutama instansi pemerintah terkait. Selanjutnya hasil penelitian dan investigasi mereka dipaparkan di hadapan ulama. Sehingga kebenaran hukum syar’i akan dapat dicapai. Dengan demikian masalah ini tidak hanya berhenti sebagai isu yang dilontarkan ke masyarakat, kemudian menimbulkan keresahan dan kebingungan dan tidak ada kepastian.

sebagaimana kita ketahui bersama, pernyataan berbagai pihak terkait, saling bertentangan. Satu pihak misalnya Direktur perencanaan dan pengembangan PT.Bio Farma, Drs. Iskandar, Apt, M,M menyatakan bahwa enzim tripsin babi hanya berfungsi sebagai katalisator dalam proses pembuatan vaksin. Tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Dan pada hasil akhirnya, enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan, sehingga hasil akhirnya tidak ditemukan lagi sedikitpun dari serum babi.

Bila ynag diungkapkan oleh Drs, Iskandar ini benar adaya, maka tidak ada alasan yang kuat untuk menfatwakan haram meningitis. Karena vaksin meningitis ini minimal bisa serupa dengan hewan jallalah, yaitu hewan ternak yang mayoritas pakannya adalah barang-barang najis.

عن ابن عمر قال نهى رسول الله صلى الله علسه و سلم عن أكل الجلالة و ألبانها

“Dari Ibnu Umar, ia menuturkan: Rasulullah shalallahu ‘alaii wa sallam melarang umatnya dari memakan daging hewan jallalah dan meminum susunya.” [HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah]

[Sumber: Buku Imunisasi Syariat hal 122-124, Pustaka Darul Ilmi]

2. Ustadz Firanda Andirja, MA hafizhahullah

Beliau berkata ketika ditanya tentang vaksinasi haji:

“enzim babi yang digunakan dalam vaksin adalah sebagai katalisator, katalisator itu hanya sebagai perantara reaksi dan tidak bersatu dengan enzim dan sudah tidak ada lagi dalam hasil reaksi, jika demikian tidak mengapa”

[sumber: intisari rekaman kajian tanya-jawab ustadz Firanda, ada dipenyusun, bisa didownload di situs www.kajian.net ]

Catatan: ini kemungkinan besar keterangan terbaru beliau karena ada juga rekaman kajian, beliau mengatakan “tidak tahu” dan membawakan kaidah umum mengenai penimbangan mashlahat dan mafsadat dalm suatu perkara


3. Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah

Dalam tulisan beliau di Majalah Al Forqan, Edisi 05 Th. ke – 8 1429 H/2008 M dengan judul “Imunisasi Dengan Vaksin Dari Enzim Babi” :

Kesimpulan dan Penutup

Setelah keterangan singkat di atas, kami yakin pembaca sudah bisa menebak kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai berikut :
  • Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran. 
  • Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya. 
  • Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah. 
  • Hal ini termasuk dalam kondisi darurat. 
  • Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan. 

Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini, maka janganlah kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini. Namun seperti yang kami isyarakatkan di muka bahwa pembahasan ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik sari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin.

4. Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary hafizhahullah

Ketika ditanya mengenai imunisasi,

“apakah di saudi bayi-bayinya diberi imunisasi lengkap sampai usia 1 tahun? apakah ada fatwa yang mengharamkan vaksin imunisasi pada bayi? mohon infonya, ustadz. karena bidan2 dan dokter2 hingga hari ini tetap memberikan imunisasi, padahal sudah bukan rahasia umum lagi bahwa vaksin2 tersebut mengandung unsur haram. hal ini juga telah dilansir di laman halalMUI.”

beliau menjawab:

“Di Saudi imunisasi merupakan syarat utama untuk mendapatkan Akte Kelahiran Asli dan bisa masuk sekolah. Karenanya semua orang yang ingin anaknya bisa sekolah harus imunisasi lengkap, bahkan hingga 5 tahun dan buku imunisasinya tidak boleh hilang…

Ala kulli haal, saya sdh buka laman MUI, tp hasil pencarian yg saya dapatkan hanya berkisar ttg Vaksin Meningitis… ga ada yg bahas Imunisasi anak-anak. Kalau anti bisa dapatkan link-nya silakan kirim ke saya…

Sejauh ini saya belum mendapatkan fatwa yg mengharamkan imunisasi, bahkan syaikh Bin Baz membolehkan hal tersebut sebagai bentuk pencegahan… tentunya bila vaksin yg digunakan adalah halal. Wallahu a’lam.”

[sumber: https://basweidan.wordpress.com/soal-jawab/ ]


5.Ustadz Aris Munandar, SS. MA hafizhahullah


Beliau menjawab pertanyaan:

Assalamu’alaykum, Pak ustadz, maaf sebelumnya, adakah tulisan atau artikel tambahan berupa fatwa dari ulama ahlu sunnah (saudi arabia) secara spesisifik pada vaksin polio (dengan katalisator yang berasal dari babi) atau yang sejenisnya.

Jawaban beliau:

Syaikh Abdul Aziz alu syaikh, mufti Saudi saat ini ditanyai oleh Ust Abu Ubaidah Yusuf Sidawi tentang vaksin yang menggunakan katalis unsur dari babi namun pada produk akhirnya tidak ada lagi unsur babi tersebut. jawaban beliau singkat padat, “La ba’tsa” alias tidak mengapa.

dialog ini terjadi setelah shalat Jumat di Masjid Syaikh Ibnu Baz di Aziziyah setelah selesai prosesi manasik haji pada tahun 2008. yang ikut mendengar fatwa Syaikh Abdul Aziz ketika itu saya sendiri dan Ust Anwari, pengajar Ma’had Al Furqon Gresik.

[sumber: https://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-vaksinasi.html/comment-page-1#comments ]

6. Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, ST hafizhahullah

Beliau memberi keterangan tentang imunisasi:

“Jika dipahami bahwa enzim adalah hanya sebagai katalis, maka katalis itu tdk bercampur dg bahan ketika diperoleh produk akhir. Sifat katalis, langsung terpisah dg produk. Kalau memang terpisah spt ini, meskipun digunakan enzim babi, maka tdk ada masalah.

Namun jika enzim tsb bercampur maka berlaku dua kaedah istihalah dan istihlak. Intinya, dilihat pada produk akhir, jk tdk nampak lagi zat najis, maka kembali ke hukum asal. Ada kaedah para ulama, “Hukum itu berputar pada illahnya (sebabnya), jika illah ada, maka ada hukum. Jk tidak, maka tdk.”

[sumber: https://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pro-kontra-hukum-imunisasi-dan-vaksinasi.html/comment-page-1#comments ]


D.Keterangan Dokter dan Pakar Ahli


Berikut adalah tanya jawab mengenasi imunisasi dengan dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi :

“Saat ini beredar di masyarakat berbagai pertanyaan dan keraguan terkait dengan kehalalan vaksin. Untuk menjawab semua itu, Sekretaris Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) Dr. Soedjatmiko akan menjawabnya lewat tanya jawab sebagai berikut:

Bagaimana cara mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian akibat penyakit menular pada bayi dan balita ?

Pencegahan umum: berikan ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dengan gizi lengkap dan seimbang , kebersihan badan, makanan, minuman, pakaian, mainan, dan lingkungan.

Pencegahan khusus: berikan imunisasi lengkap, karena dalam waktu 4 – 6 minggu setelah imunisasi akan timbul antibodi spesifik yang efektif mencegah penularan penyakit, sehingga tidak mudah tertular, tidak sakit berat, tidak menularkan kepada bayi dan anak lain, sehingga tidak terjadi wabah dan tidak terjadi banyak kematian.

Benarkah imunisasi aman untuk bayi dan balita ?

Benar. Saat ini 194 negara terus melakukan vaksinasi untuk bayi dan balita. Badan resmi yang meneliti dan mengawasi vaksin di negara tersebut umumnya terdiri atas para dokter ahli penyakit infeksi, imunologi, mikrobiologi, farmakologi, epidemiologi, dan biostatistika. Sampai saat ini tidak ada negara yang melarang vaksinasi, justru semua negara berusaha meningkatkan cakupan imunisasi lebih dari 90% .

Mengapa ada “ilmuwan” menyatakan bahwa imunisasi berbahaya ?

Tidak benar imunisasi berbahaya. “Ilmuwan” yang sering dikutip di buku, tabloid, milis ternyatabukan ahli vaksin, melainkan ahli statistik, psikolog, homeopati, bakteriologi, sarjana hukum, wartawan. sehingga mereka tidak mengerti betul tentang vaksin. Sebagian besar mereka bekerja pada era tahun 1950- 1960, sehingga sumber datanya juga sangat kuno.

Benarkah “ilmuwan kuno” yang sering dikutip buku, tabloid, milis, ternyata bukan ahli vaksin ?

Benar, mereka semua bukan ahli vaksin. Contoh : Dr Bernard Greenberg (biostatistika tahun 1950), DR. Bernard Rimland (Psikolog), Dr. William Hay (kolumnis), Dr. Richard Moskowitz (homeopatik), dr. Harris Coulter, PhD (penulis buku homeopatik, kanker), Neil Z. Miller, (psikolog, jurnalis), WB Clark (awal tahun 1950) , Bernice Eddy (Bakteriologis tahun 1954), Robert F. Kenedy Jr (sarjana hukum) Dr. WB Clarke (ahli kanker, 1950an), Dr. Bernard Greenberg (1957-1959).

Benarkah dokter Wakefield “ahli vaksin”, membuktikan MMR menyebabkan autism ?

Tidak benar. Wakefield juga bukan ahli vaksin, dia dokter spesialis bedah. Penelitian Wakefield tahun 1998 hanya dengan sample 18. Banyak penelitian lain oleh ahli vaksin di beberapa negara menyimpulkan MMR tidak terbukti mengakibatkan autis. Setelah diaudit oleh tim ahli penelitian, terbukti bahwa Wakefield memalsukan data, sehingga kesimpulannya salah. Hal ini telah diumumkan di majalah resmi kedokteran Inggris British Medical Journal Februari 2011.

Benarkah di semua vaksin terdapat zat-zat berbahaya yang dapat merusak otak ?

Tidak benar. Isu itu karena “ilmuwan” tersebut di atas tidak mengerti isi vaksin, manfaat, dan batas keamanan zat-zat di dalam vaksin. Contoh: jumlah total etil merkuri yang masuk ke tubuh bayi melalui vaksin sekitar 2 mcg/kgbb/minggu, sedangkan batas aman menurut WHO adalah jauh lebih banyak (159 mcg/kgbb/minggu). Oleh karena itu vaksin mengandung merkuri dengan dosis yang sangat rendah dan dinyatakan aman oleh WHO dan badan-badan pengawasan lainnya.

Benarkah isu bahwa “semua zat kimia” berbahaya bagi bayi ?

Tidak benar. Isu itu beredar karena penulis buku, tabloid, milis, tidak pernah belajar ilmu kimia. Oksigen, air, nasi, buah, sayur, jahe, kunyit, lengkuas, semua tersusun dari zat-zat kimia. Buktinya oksigen rumus kimianya O2, air H2O, garam NaCl. Buah dan sayur terdiri atas serat selulosa, fruktosa, vitamin, mineral, dll. Telur terdiri dari protein, asam amino, mineral. Itu semua zat kimia, karena ada rumus kimianya. Jadi zat-zat kimia umumnya justru sangat dibutuhkan untuk manusia asal bukan zat yang berbahaya atau dalam takaran yang aman.

Benarkah vaksin terbuat dari nanah, dibiakkan di janin anjing, babi, manusia yang sengaja digugurkan?

Tidak benar. Isu itu bersumber dari “ilmuwan” 50 tahun lalu (tahun 1961-1962). Teknologi pembuatan vaksin berkembang sangat pesat. Sekarang tidak ada vaksin yang terbuat dari nanah atau dibiakkan embrio anjing, babi, atau manusia.

Benarkah vaksin mengandung lemak babi ?

Tidak benar. Hanya sebagian kecil dari vaksin yang pernah bersinggungan dengan tripsin pada proses pengembangan maupun pembuatannya seperti vaksin polio dan meningitis. Pada vaksin meningitis, pada proses penyemaian induk bibit vaksin tertentu 15 – 20 tahun lalu, ketika panen bibit vaksin tersebut bersinggungan dengan tripsin pankreas babi untuk melepaskan induk vaksin dari persemaiannya. Tetapi kemudian induk bibit vaksin tersebut dicuci dan dibersihkan total, sehingga pada vaksin yang disuntikkan tidak mengandung tripsin babi. Atas dasar itu maka Majelis Ulama Indonesia berpendapat vaksin itu boleh dipakai, selama belum ada penggantinya. Contohnya vaksin meningokokus (meningitis) haji diwajibkan oleh Saudi Arabia bagi semua jemaah haji untuk mencegah radang otak karena meningokokus.

Benarkah vaksin yang dipakai di Indonesia buatan Amerika ?

Tidak benar. Vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Bio Farma Bandung, yang merupakan BUMN, dengan 98,6% karyawannya adalah Muslim. Proses penelitian dan pembuatannya mendapat pengawasan ketat dari ahli-ahli vaksin di BPOM dan WHO. Vaksin-vaksin tersebut juga diekspor ke 120 negara, termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, seperti Iran dan Mesir.

Benarkah program imunisasi hanya di negara Muslim dan miskin agar menjadi bangsa yang lemah?

Tidak benar. Imunisasi saat ini dilakukan di 194 negara, termasuk negara-negara maju dengan status sosial ekonomi tinggi, dan negara-negara non-Muslim. Kalau imunisasi bisa melemahkan bangsa, maka mereka juga akan lemah, karena mereka juga melakukan program imunisasi, bahkan lebih dulu dengan jenis vaksin lebih banyak. Kenyataanya : bangsa dengan cakupan imunisasi lebih tinggi justru lebih kuat. Jadi terbukti bahwa imunisasi justru memperkuat kekebalan terhadap penyakit infeksi, bukan melemahkan.

Benarkah isu di buku, tabloid dan milis bahwa di Amerika banyak kematian bayi akibat vaksin ?

Tidak benar. Isu itu karena penulis tidak faham data Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) FDA Amerika tahun 1991-1994, yang mencatat 38.787 laporan kejadian ikutan pasca imunisasi, oleh penulis angka tersebut ditafsirkan sebagai angka kematian bayi 1 – 3 bulan. Kalau memang benar angka kematian begitu tinggi tentu FDA AS akan heboh dan menghentikan vaksinasi. Faktanya Amerika tidak pernah meghentikan vaksinasi bahkan mempertahankan cakupan semua imunisasi di atas 90 %. Angka tersebut adalah semua keluhan nyeri, gatal, merah, bengkak di bekas suntikan, demam, pusing, muntah yang memang rutin harus dicatat kalau ada laporan masuk. Kalau ada 38.787 laporan dari 4,5 juta bayi berarti KIPI hanya 0,9 %.

Benarkah isu bahwa banyak bayi balita meninggal pada imunisasi masal campak di Indonesia ?

Tidak benar. Setiap laporan kecurigaan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) selalu dikaji oleh Komnas/Komda KIPI yang terdiri dari pakar-pakar penyakit infeksi, imunisasi, imunologi. Setelah dianalisis dari keterangan keluarga, dokter yang merawat di rumah sakit, hasil pemeriksaan fisik, dan laboratorium, ternyata balita tersebut meninggal karena radang otak, bukan karena vaksin campak. Pada bulan itu ada beberapa balita yang tidak imunisasi campak juga menderita radang otak. Berarti kematian balita tersebut bukan karena imunisasi campak, tetapi karena radang otak.

Demam, bengkak, merah setelah imunisasi membuktikan bahwa vaksin berbahaya?

Tidak berbahaya. Demam, merah, bengkak, gatal di bekas suntikan adalah reaksi wajar setelah vaksin masuk ke dalam tubuh. Seperti rasa pedas dan berkeringat setelah makan sambal adalah reaksi normal tubuh kita. Umumnya keluhan tersebut akan hilang dalam beberapa hari. Boleh diberi obat penurun panas, dikompres. Bila perlu bisa konsul ke petugas kesehatan terdekat.

Benarkah vaksin Program Imunisasi di Indonesia juga dipakai oleh 36 negara Muslim?

Benar. Vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Biofarma Bandung. Vaksin-vaksin tersebut dibeli dan dipakai oleh 120 negara, termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam.

Benarkah isu di tabloid, milis, bahwa program imunisasi gagal?

Tidak benar. Isu-isu tersebut bersumber dari data yang sangat kuno (50 – 150 tahun lalu) hanya dari 1 – 2 negara saja, sehingga hasilnya sangat berbeda dengan hasil penelitian terbaru, karena vaksinnya sangat berbeda.

Contoh :
  • Isu vaksin cacar variola gagal, berdasarkan data yang sangat kuno, di Inggris tahun 1867 – 1880 dan Jepang tahun 1872-1892. Fakta terbaru sangat berbeda, bahwa dengan imunisasi cacar di seluruh dunia sejak tahun 1980 dunia bebas cacar variola. 
  • Isu vaksin difteri gagal, berdasarkan data di Jerman tahun 1939. Fakta sekarang: vaksin difteri dipakai di seluruh dunia dan mampu menurunkan kasus difteri hingga 95 %. 
  • Isu pertusis gagal hanya dari data di Kansas dan Nova Scottia tahun 1986 
  • Isu vaksin campak berbahaya hanya berdasar penelitian 1989-1991 pada anak miskin berkulit hitam di Meksiko, Haiti dan Afrika 

Benarkah program imunisasi gagal, karena setelah diimunisasi bayi balita masih bisa tertular penyakit tersebut ?

Tidak benar program imunisasi gagal. Perlindungan vaksin memang tidak 100%. Bayi dan balita yang telah diimunisasi masih bisa tertular penyakit, tetapi jauh lebih ringan dan tidak berbahaya. Bayi balita yang belum diimunisasi lengkap bila tertular penyakit tersebut bisa sakit berat, cacat atau meninggal.

Benarkah imunisasi bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian bayi dan balita?

Benar. Badan penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa dengan meningkatkan cakupan imunisasi, maka penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berkurang secara bermakna. Oleh karena itu saat ini program imunisasi dilakukan terus menerus di 194 negara, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Semua negara berusaha meningkatkan cakupan agar lebih dari 90 %. Di Indonesia, setelah wabah polio 2005-2006 karena banyak bayi yang tidak diimunisasi polio, maka menyebabkan 305 anak lumpuh permanen. Setelah digencarkan imunisasi polio, sampai saat ini tidak ada lagi kasus polio baru.

Mengapa di Indonesia ada buku, tabloid, milis, yang menyebarkan isu bahwa vaksin berbahaya, tidak effektif, tidak dilakukan di negara maju ?

Karena di Indonesia ada orang-orang yang tidak mengerti tentang vaksin dan imunisasi, hanya mengutip dari “ilmuwan” tahun 1950 -1960 yang ternyata bukan ahli vaksin, atau berdasar data-data 30 – 40 tahun lalu (1970 – 1980an) atau hanya dari 1 sumber yang tidak kuat. Atau dia mengutip Wakefield spesialis bedah, bukan ahli vaksin, yang penelitiannya dibantah oleh banyak tim peneliti lain, dan oleh majalah resmi kedokteran Inggris British Medical Journal Februari 2011penelitian Wakefield dinyatakan salah alias bohong. Ia hanya berdasar kepada 1 – 2 laporan kasus yang tidak diteliti lebih lanjut secara ilmiah, hanya berdasar logika biasa.

Bagaimana orangtua harus bersikap terhadap isu-isu tersebut?

Sebaiknya semua bayi dan balita diimunisasi secara lengkap. Saat ini 194 negara di seluruh dunia yakin bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat, dan kematian pada bayi dan balita. Terbukti 194 negara tersebut terus menerus melaksanakan program imunisasi, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan cakupan umumnya lebih dari 85 %.

Badan penelitian di berbagai negara membuktikan kalau semakin banyak bayi balita tidak diimunisasi akan terjadi wabah, sakit berat, cacat atau mati. Hal ini telah terbukti di Indonesia, di mana wabah polio merebak pada tahun 2005-2006 (305 anak lumpuh permanen), wabah campak 2009 – 2010 (5.818 anak dirawat di RS, meninggal 16), dan wabah difteri 2010-2011 (816 anak di rawat di RS, 56 meninggal).

Bisakah ASI, gizi, dan suplemen herbal menggantikan imunisasi ?

Tidak ada satupun badan penelitian di dunia yang menyatakan bisa, karena kekebalan yang dibentuk sangatlah berbeda. ASI, gizi, suplemen herbal, kebersihan, hanya memperkuat pertahanan tubuh secara umum, karena tidak membentuk kekebalan spesifik terhadap kuman tertentu. Kalau jumlah kuman banyak dan ganas, perlindungan umum tidak mampu melindungi bayi, sehingga masih bisa sakit berat, cacat atau bahkan mati.

Imunisasi merangsang pembentukan antibodi dan kekebalan seluler yang spesifik terhadap kuman-kuman atau racun kuman tertentu, sehingga bekerja lebih cepat, efektif, dan efisien untuk mencegah penularan penyakit yang berbahaya.

Bolehkah selain diberikan imunisasi, ditambah dengan suplemen gizi dan herbal?

Boleh. Selain diberi imunisasi, bayi harus diberi ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dengan gizi lengkap dan seimbang, kebersihan badan, makanan, minuman, pakaian, mainan, dan lingkungan.Suplemen diberikan sesuai kebutuhan individual yang bervariasi. Selain itu bayi harus diberikan kasih sayang dan stimulasi bermain untuk mengembangkan kecerdasan, kreatifitas dan perilaku yang baik.

Benarkah bayi dan balita yang tidak diimunisasi lengkap rawan tertular penyakit berbahaya ?

Benar. Banyak penelitian imunologi dan epidemiologi di berbagai membuktikan bahwa bayi balita yang tidak diimunisasi lengkap tidak mempunyai kekebalan spesifik terhadap penyakit-penyakit berbahaya. Mereka mudah tertular penyakit tersebut, akan menderita sakit berat, menularkan ke anak-anak lain, menyebar luas, terjadi wabah, menyebabkan banyak kematian dan cacat.

Benarkah wabah akan terjadi bila banyak bayi dan balita tidak diimunisasi ?

Benar. Itu sudah terbukti di beberapa negara Asia, Afrika dan di Indonesia.
Contoh: wabah polio 2005-2006 di Sukabumi karena banyak bayi balita tidak diimunisasi polio, dalam hitungan beberapa bulan, virus polio menyebar cepat ke Banten, Lampung, Madura, menyebabkan 305 anak lumpuh permanen.

Wabah campak di Jawa Tengah dan Jawa Barat 2010-2011 mengakibatkan 5.818 anak dirawat di rumah sakit dan 16 anak di antaranya meninggal dunia.

Wabah difteri dari Jawa Timur 2009 – 2011 menyebar ke Kalimantan Timur, Selatan, Tengah, Barat, DKI Jakarta, menyebabkan 816 anak harus di rawat di rumah sakit, 54 meninggal.

Editor: Ella Syafputri


[Sumber: http://www.antaranews.com/berita/292632/tanya-jawab-kehalalan-dan-keamanan-vaksin?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter ]


Demikianlah yang dapat kami susun, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. amin yaa rabbal ‘alamin

wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam

Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid
16 Jumadil awal 1432 H, Bertepatan 8 April 2012

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen


Artikel Muslim.Or.Id