Hukum Memotong Janggut Menurut Para Ulama 4 Madzhab
Ada seorang
teman yang bersikukuh bahwa memanjangkan jenggot adalah khilafiyah. Mencukurnya
adalah lebih utama, dan membela idolanya yang afwan sedikit berpaham liberal
bahwa orang berjenggot adalah bodoh.
Mengatakan
bahwa jenggot adalah masalah khilafiyah benar adanya tapi mencukurnya sampai
botak dan mengatakan memanjangkan jenggot adalah perbuatan orang goblok pertanda tidak ada
ilmu dari pendapatnya. Malah bisa jadi pendapat itu berangkat dari perasaan “DENGKI”.
Berikut
penjelasan khilafiyah dalam memelihara jenggot yang ane coba telusuri dari
berbagai pendapat dari para ustad baik yang mendukung memanjangkan janggut dan memperbolehkan
memotongnya.
Dalil
tentang disyari’atkannya memelihara Janggut :
”Selisilah oleh kalian orang-orang
musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5553 dan
Muslim no. 259].
”Potonglah kumis kalian
dan peliharalah jenggot” [HR. Muslim no. 259].
”Potong sampai habis
kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Al-Bukhari no. 5554]
”Potong/cukurlah kumis
kalian dan panjangkanlah jenggot. Selisilah oleh kalian kaum Majusi” [HR.
Muslim no. 260].
”Sesungguhnya orang
musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka !
Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123;
hasan].
Dari Ibnu ’Umar, dari Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Bahwasannya beliau memerintahkan untuk
memotong kumis dan memelihara jenggot” [HR. Muslim no. 259].
Hadits-hadits
di atas begitu jelas bahwa MEMELIHARA JANGGUT merupakan SUNNAH NABI. Oleh
karena itu, tidak sepantasnya kita sebagai orang islam menghinakannya,
meremehkannya, dan mencemoohnya walaupun hanya sekedar bercanda.
“Teruskanlah
ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan
menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang
apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami
hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah,
ayatayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolokolok?”. [at-Taubah/9:64-65]
Bahkan
seharusnya, kita mengagungkan dan mengamalkannya walaupun misalkan kita tidak
atau belum mengamalkannya maka setidaknya kita menghargai dan menghormati orang
yang mengamalkan sunnah nabi ini.
Pandangan Para Ulama 4 Madzhab dan selainnya
tentang mencukur janggut :
Sebelumnya
perlu di pahami bahwa Para Ulama 4 Madzhab (Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah,
dan Hanafiyyah), Dhohiriyyah, dan selainnya kecuali Mazhab Islam Liberal,
mereka semua sepakat tentang sunnahnya memelihara Janggut (bukan sebaliknya).
Berikut
khilaf di kalangan ulama shafush shaleh (afwan pendapat orang liberal gak
dimasukan)
1. Tidak memotong janggut sama sekali
dengan membiarkan sebagaimana adanya. Ini adalah pendapatnya Imam Asy-Syafi’i
dalam satu nukilan, sebagian ulama bermadzhab Syafi’iyyah, sebagian ulama bermadzhab
Hanabilah, dan ulama lainnya.
Pendapat ini berhujjah
dengan keumuman hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam:
Ahmad bin Qaasim
Al-’Abbaadi Asy-Syafi’i berkata :
”Telah berkata
Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i
telah menegaskan dalam kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan
begitu pula yang ditegaskan oleh Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitab
Syu’abul-Iman, dan gurunya (yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyi dalam
kitabMahaasinusy-Syar’iyyah atas keharaman mencukur jenggot” [Hukmud-Diin
fil-Lihyah wat-Tadkhiin oleh ’Ali Al-Halaby hal. 31].
Al-Hafidh Al-’Iraqi
berkata :
”Jumhur ulama
berkesimpulan pada pendapat pertama untuk membiarkan jenggot sebagaimana
adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu merupakan perkataan/pendapat Imam
Asy-Syafi’i dan para shahabatnya” [Tharhut-Tatsrib 2/83].
Al-Qurthubi berkata :
”Tidak diperbolehkan
untuk mencukur, mencabut, dan memangkas jenggot” [Tahriimu Halqil-Lihaa oleh
’Abdurrahman bin Qasim Al-’Ashimi Al-Hanbaly hal. 5]
Abu Syaammah Al-Maqdisy
Asy-Syafi’y berkata :
”Telah ada suatu kaum
yang biasa mencukur jenggotnya (sampai habis). Hal itu lebih parah dari apa
yang ternukil dari orang Majusi dimana mereka hanya memotongnya saja (tidak
sampai habis)” [Fathul-Bari 10/351 no. 5553].
Salah seorang ulama
syafi’iyyah bernama Ibnu Rif’ah berkata:
“Sesungguhnya Imam
as-Syafi’I telah menyatakan dalam kitab al-Umm tentang haramnya mencukur
jenggot” [Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376]
Al-Imam al-Mawardy as-Syafi’I-rahimahullah- berkata:
“Mencabut (mencukur) jenggot termasuk perbuatan bodoh yang dengannya persaksian seseorang bisa ditolak”[ Al-Haawy al-Kabiir]
Imam an-Nawawy berkata:
“Yang benar dibenci memotong walaupun hanya sedikit dari jenggot, akan tetapi hendaknya jenggot dibiarkan berdasarkan hadits shahih” dan biarkanlah jenggot” [Al-Majmu 1/343]
Beliau juga berkata dalam Syarah Shahih Muslim (hadits no.260):
“Pendapat yang kami pilih adalah membiarkan jenggot itu (tidak dicukur) dan tidak boleh dipendekkan sama sekali”. [Fathul Baary 13/411]
2. Tidak memotong janggut sama sekali
dengan membiarkan sebagaimana adanya, kecuali dalam ibadah Haji dan Umroh.
Pendapat ini dipegang oleh Mayoritas Tabi’in, Imam Asy-Syafi’i, (Hal yang
disukai oleh) Imam Malik, dan ulama lainnya.
berikut dalilnya:
Dari Nafi’, dari Ibnu
’Umar radliyallaahu ’anhuma dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda
: ”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah
kumis”. (Nafi’ berkata : ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji
atau ’umrah, maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari
genggaman tersebut, ia potong” [HR. Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].
Dari Marwan – yaitu Ibnu
Saalim Al-Muqaffa’ – ia berkata : ”Aku pernah melihat Ibnu ’Umar menggenggam
jenggotnya, lalu ia memotong apa-apa yang melebihi telapak tangannya” [HR. Abu
Dawud no. 2357; hasan].
’Atha’ bin Abi Rabbah
juga telah menceritakan/menghikayatkan dari sekelompok shahabat (dan tabi’in)
dimana ia berkata :
”Mereka (para shahabat
dan tabi’in) menyukai untuk memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah
(dimana mereka memotongnya apa-apa di bawah genggaman tangan)” [HR. Ibnu Abi
Syaibah 5/25482 dengan sanad shahih]
Madzhab Imam Malik
adalah sebagaimana tertera dalam Al-Muwaththa’ dimana beliau membawakan riwayat
Ibnu ’Umar yang membolehkan memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan di
waktu haji dan ’umrah [Al-Muwaththa’ 1/318]. Imam Malik tidak memberikan
kelongaran dalam memotong jenggot kecuali saat haji dan ’umrah
[Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Beliau hanya menyukainya saja dan
tidak mewajibkannya [Al-Mudawwanah 2/430].
Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin Kamil (salah seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam berdasarkan riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata :
”Telah berkata Asy-Syafi’i : Telah mengkhabarkan kepada kami Malik (bin Anas) dari Nafi’ : Bahwasannya Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila mencukur (rambut) ketika ibadah haji, maka beliau memotong jenggotnya (selebih dari genggaman tangan) dan kumisnya”. Aku (yaitu Ar-Rabi’) berkata : ”Sesungguhnya kami berkata : Tidak boleh bagi seorangpun untuk memotong jenggot dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya disyari’atkan mencukur kepala saja ?”. Maka Asy-Syafi’i berkata : ”Ini termasuk hal yang kalian tinggalkan atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi kalian yang aku ketahui” [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Di sini Imam Asy-Syafi’i memegang atsar Ibnu ’Umar dalam hal tersebut.
Dalam kitab lain Imam Asy-Syafi’i berkata :
”Aku menyukai jika ia memotong jenggot dan kumisnya, hingga ia meletakkan dari rambutnya sesuatu karena Allah. Jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah (memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/2032].
3. Diperbolehkan memotong janggut yang
terlalu panjang apabila janggut tersebut membuat jelek penampilan. Pendapat ini
merupakan pendapat terkenal dari Imam Malik dan Al-Qodhi ‘Iyadh.
dalilnya:
Telah berkata Al-Qadli ’Iyadl ;
”Mencukur, memangkas,
dan mencabut jenggot adalah dibenci. Adapun jika ia memotong karena terlalu
panjang dan (menjaga) kehormatannya jika ia membiarkannya (sehingga nampak
jelek), maka itu adalah baik. Akan tetapi dibenci untuk membiarkan selama
sebulan[6] sebagaimana dibenci untuk memendekkannya” [Fathul-Baari 10/351 no.
5553].
4. Disukai untuk memotong janggut dalam
keadaan apapun. Ini adalah pendapat terkenal dari Para Ulama bermadzhab
Hanafiyyah, Imam Ahmad, Para Ulama bermadzhab Hanabilah, dan ulama lainnya
serta sebagian Tabi’in.
Telah berkata Muhammad
bin Al-Hasan – shahabat besar Abu Hanifah – rahimahumallah :
”Telah mengkhabarkan
kepadaku Abu Hanifah, dari Al-Haitsam, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
Bahwasannya ia (Ibnu ’Umar) menggenggam jenggotnya, kemudian memotong apa-apa
yang berada di bawah genggaman tersebut”. Berkata Muhammad (bin Al-Hasan) :
Kami mengambil pendapat tersebut. Dan itulah perkataan Abu Hanifah” [Al-Aatsaar
900].
5. Makruh Mencukur Jenggot (sunnah tapi
tidak wajib)
Menurut pendapat ini menolak
bahwa memelihara dan memanjangkan jenggot itu dianggap sebagai kewajiban. Meski
nash-nash yang kita temui secara dzhahirnya memang memerintahkan, namun tidak
semua fi’il amr selalu mengandung makna kewajiban. Bukankah kita menemukan cukup banyak dasar
masyru’iyah ibadah seperti shalat sunnah atau puasa sunnah yang menggunakan
sighat amr, padahal para ulama sepakat tidak mewajibkannya.
contoh perintah mengenai
shalat ‘idd:
"Rasulullah
sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar di hari raya Idul
Fitri dan Idul Adha. Baik wanita yang baru balig, wanita sedang haid dan wanita
perawan. Sementara orang yang haid dipisahkan dari (tempat) shalat. Agar mereka
dapat menyaksikan kebaikan dan doa umat Islam." Saya berkata, ‘Wahai
Rasulullah, ada di antara kami yang tidak mempunyai jilbab." Beliau
mengatakan, "Sebaiknya saudara perempuannya memberinya jilbab." [HR
Bukhari - Muslim]
Memelihara jenggot
menurut salah satu hadits shahih disebutkan sebagai salah satu dari sepuluh
fithrah. Dan umumnya apa-apa yang termasuk fithrah itu hukumnya bukan
kewajiban, melainkan sunnah. Kalau kita bandingkan memelihara jenggot ini
dengan sunnah fithrah yang lain misalnya memotong kuku, mencabut bulu ketiak,
mencukur bulu kemaluan, bersiwak dan lain-lain, maka kedudukannya sama, yaitu
sama-sama sunnah dan bukan kewajiban.
Dasar pendapat ini jga
karena tidak semua orang bisa punya janggut. Kalau ada orang yang punya
jenggot, lalu dia ingin menjalankan apa yang menjadi perintah Nabi SAW
sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas, maka tentu berpahala. Namun
sebaliknya, bila seseorang ditakdirkan tidak tumbuh jenggot di dagunya, tentu
dia tidak bisa dibilang berdosa. Sehingga kesimpulannya, berjenggot itu tidak
wajib tetapi disunnahkan
Sedankan masalah memilahara Janggut sebagaian
ulama bermazhab syafi’iah menyatakan makruh dalam perkara ini di antaranya al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya.
Kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy
Kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy
Mereka (ulama) telah menyebut di sini berkenaan dengan jenggot dan
seumpamanya tentang perkara-perkara yang dimakruhkan, di antaranya mencabut dan
mencukur jenggot. [Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 375-376]
Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang
yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus. [Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah
Syamilah, Juz. I, Hal. 551]
Karena mayoritas masyarakat Indonesia mengakui
bahwa mazhab As Syafii adalah mazhab mereka berikut pembasan labih mendalam.
Berdasarkan
kesepakatan ulama Syafi’iyah bahwa yang menjadi panutan dalam mazhab Syafi’i
adalah pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi dan al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar
al-Haitamy, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama-ulama
lainnya yang berada di bawahnya.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mu’tamad dalam mazhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yang menjadi kesepakatan dua syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yang ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yang lebih ‘alim dan kemudian yang lebih wara’. [Zainuddin al-malibari, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 233-234]
Al-Bakri al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (kitab hasyiah bagi kitab Fathul Mu’in di atas) menjelaskan:
Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf kalam muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i) seperti Syeikh Islam dan murid-muridnya, maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat yang dipegang oleh Syeikh Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah, karena kitab tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada empat ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hazramaut dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yang mu’tamad adalah pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan terutama dalam Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash-nash imam serta lebih teliti pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama muhaqiqin yang tidak terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu Hajar dan al-Ramli) tidak mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan dengan kalam Syeikh Islam, kalam al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim, ‘Amirah,ع ش (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi, al-Syaubari, dan kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi ushul mazhab [Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 234]
Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf kalam muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i) seperti Syeikh Islam dan murid-muridnya, maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat yang dipegang oleh Syeikh Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah, karena kitab tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada empat ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hazramaut dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yang mu’tamad adalah pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan terutama dalam Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash-nash imam serta lebih teliti pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama muhaqiqin yang tidak terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu Hajar dan al-Ramli) tidak mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan dengan kalam Syeikh Islam, kalam al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim, ‘Amirah,ع ش (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi, al-Syaubari, dan kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi ushul mazhab [Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 234]
Imam as-Syafi’I berkata dalam al-Umm
ketika berbicara tentang menggundul rambut:
“Menggundul rambut bukanlah perbuatan dosa,karena ada ibadah yang salah satunya dengan menggundul rambut serta hal ini (menggundul rambut) tidak menimbulkan sakit yang berlebih,menggundul ini -walaupun memang dalam masalah jenggot tidak boleh- tidak menimbulkan sakit yang berlebih dan tidak pula menghilangkan rambut karena nanti akan tumbuh lagi” [Al-Umm 7/203]
Perkataan
Imam Syafi’i “laa yajuz” di atas, memang zhahirnya bisa bermakna haram, tetapi
masih berkemungkinan bermakna nafi al-jawaz al-mustawi baina al-tharfaini
(menafikan boleh dengan makna menafikan sama antara dua sisi perbuatan, yaitu
sisi melakukan atau tidak melakukannya) sehingga perkataan Syafi’i tersebut
masih berkemungkinan bermakna yang mencakup makruh dan haram sebagaimana
penjelasan terhadap perkataanIbn al-Himam di atas. Mencakup makruh, karena
makruh lebih rajih kepada tidak melakukan suatu perbuatan. Penjelasan yang
mirip seperti ini juga pernah dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam
mengomentari perkataan al-Hulaimy : “la yahillu zalika” (tidak halal yang
demikian itu, yaitu mencukur jenggot). Al-Haitamy mengatakan
Perkataan
al-Hulaimy “tidak halal yang demikian” tidak menafikan kemakruhan mencabut dan
mencukur jenggot, karena masih mungkin menempatkan maksudnya itu adalah nafi
halal yang sama dua sisi perbuatan.[ bnu
Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada
hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir,
Juz. IX, Hal. 376]
Kesimpulan:
- Memelihara Janggut adalah sunnah Rasulullah. Perkara boleh atau tidaknya memotong/merapikan janggut adalah perkara khilafiyah
- memanjangkan janggut adalah perbuatan orang goblok adalah perkataan yang tidak berdasarkan ilmu, bisa berasal dari “dengki” atau godaan setan. Wajib bagi mereka untuk intropeksi walau hanya karena bercanda
- Rasulullah memelihara janggutnya, begitu juga para ulama terdahulu. Tidak di temukan riwayat bahkan yang lemah sekalipun bahwa Rasulullah mencukur rambutnya sebagaimana di tuduhkan bahwa mencukur janggut adalah lebih utama sedangkan menajangkannya adalah perbuatan orang bodoh.
- Pendapat mazhab syafi’I mengenai memotong janggut adalah ada yang mengharamkan ada yang memakruhkan.
Demikian
Ikhtiar ane dalam memahami khilafiyah. Bila ada yang salah mohon maaf
sebesar2nya. Semoga Allah memberikan petunjuk pada kita semua. Allhualam
sumber:
http://almanhaj.or.id/content/3108/slash/0/bercanda-menurut-pandangan-islam/
http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html
http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2013/02/hukum-mencukur-jenggot-menurut-mazhab.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakan kata-kata yang cerdas dan tidak merendahkan. Silahkan mengkritik bila ada yang menyimpang dari Ajaran Rasulullah. ^,^