Translate

15 Sep 2015

Apakah memanjangkan janggut perbuatan orang goblok?

Hukum Memotong Janggut Menurut Para Ulama 4 Madzhab

Ada seorang teman yang bersikukuh bahwa memanjangkan jenggot adalah khilafiyah. Mencukurnya adalah lebih utama, dan membela idolanya yang afwan sedikit berpaham liberal bahwa orang berjenggot adalah bodoh.

Mengatakan bahwa jenggot adalah masalah khilafiyah benar adanya tapi mencukurnya sampai botak dan mengatakan memanjangkan jenggot adalah  perbuatan orang goblok pertanda tidak ada ilmu dari pendapatnya. Malah bisa jadi pendapat itu berangkat dari perasaan “DENGKI”.

Berikut penjelasan khilafiyah dalam memelihara jenggot yang ane coba telusuri dari berbagai pendapat dari para ustad baik yang mendukung memanjangkan janggut dan memperbolehkan memotongnya.

Dalil tentang disyari’atkannya memelihara Janggut :

”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].
”Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Muslim no. 259].
”Potong sampai habis kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Al-Bukhari no. 5554]
”Potong/cukurlah kumis kalian dan panjangkanlah jenggot. Selisilah oleh kalian kaum Majusi” [HR. Muslim no. 260].
”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan].
Dari Ibnu ’Umar, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Bahwasannya beliau memerintahkan untuk memotong kumis dan memelihara jenggot” [HR. Muslim no. 259].

Hadits-hadits di atas begitu jelas bahwa MEMELIHARA JANGGUT merupakan SUNNAH NABI. Oleh karena itu, tidak sepantasnya kita sebagai orang islam menghinakannya, meremehkannya, dan mencemoohnya walaupun hanya sekedar bercanda.

“Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayatayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolokolok?”. [at-Taubah/9:64-65]

Bahkan seharusnya, kita mengagungkan dan mengamalkannya walaupun misalkan kita tidak atau belum mengamalkannya maka setidaknya kita menghargai dan menghormati orang yang mengamalkan sunnah nabi ini.


Pandangan Para Ulama 4 Madzhab dan selainnya tentang mencukur janggut :

Sebelumnya perlu di pahami bahwa Para Ulama 4 Madzhab (Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah), Dhohiriyyah, dan selainnya kecuali Mazhab Islam Liberal, mereka semua sepakat tentang sunnahnya memelihara Janggut (bukan sebaliknya).  

Berikut khilaf di kalangan ulama shafush shaleh (afwan pendapat orang liberal gak dimasukan)
1.       Tidak memotong janggut sama sekali dengan membiarkan sebagaimana adanya. Ini adalah pendapatnya Imam Asy-Syafi’i dalam satu nukilan, sebagian ulama bermadzhab Syafi’iyyah, sebagian ulama bermadzhab Hanabilah, dan ulama lainnya.
Pendapat ini berhujjah dengan keumuman hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam:

Ahmad bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syafi’i berkata :
”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i telah menegaskan dalam kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitu pula yang ditegaskan oleh Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitab Syu’abul-Iman, dan gurunya (yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyi dalam kitabMahaasinusy-Syar’iyyah atas keharaman mencukur jenggot” [Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiin oleh ’Ali Al-Halaby hal. 31].

Al-Hafidh Al-’Iraqi berkata :
”Jumhur ulama berkesimpulan pada pendapat pertama untuk membiarkan jenggot sebagaimana adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu merupakan perkataan/pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya” [Tharhut-Tatsrib 2/83].

Al-Qurthubi berkata :
”Tidak diperbolehkan untuk mencukur, mencabut, dan memangkas jenggot” [Tahriimu Halqil-Lihaa oleh ’Abdurrahman bin Qasim Al-’Ashimi Al-Hanbaly hal. 5]

Abu Syaammah Al-Maqdisy Asy-Syafi’y berkata :
”Telah ada suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya (sampai habis). Hal itu lebih parah dari apa yang ternukil dari orang Majusi dimana mereka hanya memotongnya saja (tidak sampai habis)” [Fathul-Bari 10/351 no. 5553].

Salah seorang ulama syafi’iyyah bernama Ibnu Rif’ah berkata:
“Sesungguhnya Imam as-Syafi’I telah menyatakan dalam kitab al-Umm tentang haramnya mencukur jenggot” [Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376]

Al-Imam al-Mawardy as-Syafi’I-rahimahullah- berkata:
“Mencabut (mencukur) jenggot termasuk perbuatan bodoh yang dengannya persaksian seseorang bisa ditolak”[ Al-Haawy al-Kabiir]

Imam an-Nawawy berkata:
“Yang benar dibenci memotong walaupun hanya sedikit dari jenggot, akan tetapi hendaknya jenggot dibiarkan berdasarkan hadits shahih” dan biarkanlah jenggot” [Al-Majmu 1/343]

Beliau juga berkata dalam Syarah Shahih Muslim (hadits no.260):
“Pendapat yang kami pilih adalah membiarkan jenggot itu (tidak dicukur) dan tidak boleh dipendekkan sama sekali”. [Fathul Baary 13/411]


2.       Tidak memotong janggut sama sekali dengan membiarkan sebagaimana adanya, kecuali dalam ibadah Haji dan Umroh. Pendapat ini dipegang oleh Mayoritas Tabi’in, Imam Asy-Syafi’i, (Hal yang disukai oleh) Imam Malik, dan ulama lainnya.

berikut dalilnya:
Dari Nafi’, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda : ”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (Nafi’ berkata : ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau ’umrah, maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut, ia potong” [HR. Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].

Dari Marwan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ – ia berkata : ”Aku pernah melihat Ibnu ’Umar menggenggam jenggotnya, lalu ia memotong apa-apa yang melebihi telapak tangannya” [HR. Abu Dawud no. 2357; hasan].

’Atha’ bin Abi Rabbah juga telah menceritakan/menghikayatkan dari sekelompok shahabat (dan tabi’in) dimana ia berkata :
”Mereka (para shahabat dan tabi’in) menyukai untuk memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah (dimana mereka memotongnya apa-apa di bawah genggaman tangan)” [HR. Ibnu Abi Syaibah 5/25482 dengan sanad shahih]

Madzhab Imam Malik adalah sebagaimana tertera dalam Al-Muwaththa’ dimana beliau membawakan riwayat Ibnu ’Umar yang membolehkan memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan di waktu haji dan ’umrah [Al-Muwaththa’ 1/318]. Imam Malik tidak memberikan kelongaran dalam memotong jenggot kecuali saat haji dan ’umrah [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Beliau hanya menyukainya saja dan tidak mewajibkannya [Al-Mudawwanah 2/430].

Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin Kamil (salah seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam berdasarkan riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata :
”Telah berkata Asy-Syafi’i : Telah mengkhabarkan kepada kami Malik (bin Anas) dari Nafi’ : Bahwasannya Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila mencukur (rambut) ketika ibadah haji, maka beliau memotong jenggotnya (selebih dari genggaman tangan) dan kumisnya”. Aku (yaitu Ar-Rabi’) berkata : ”Sesungguhnya kami berkata : Tidak boleh bagi seorangpun untuk memotong jenggot dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya disyari’atkan mencukur kepala saja ?”. Maka Asy-Syafi’i berkata : ”Ini termasuk hal yang kalian tinggalkan atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi kalian yang aku ketahui” [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Di sini Imam Asy-Syafi’i memegang atsar Ibnu ’Umar dalam hal tersebut.

Dalam kitab lain Imam Asy-Syafi’i berkata :
”Aku menyukai jika ia memotong jenggot dan kumisnya, hingga ia meletakkan dari rambutnya sesuatu karena Allah. Jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah (memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/2032].

3.       Diperbolehkan memotong janggut yang terlalu panjang apabila janggut tersebut membuat jelek penampilan. Pendapat ini merupakan pendapat terkenal dari Imam Malik dan Al-Qodhi ‘Iyadh.

dalilnya:
Telah berkata Al-Qadli ’Iyadl ;
”Mencukur, memangkas, dan mencabut jenggot adalah dibenci. Adapun jika ia memotong karena terlalu panjang dan (menjaga) kehormatannya jika ia membiarkannya (sehingga nampak jelek), maka itu adalah baik. Akan tetapi dibenci untuk membiarkan selama sebulan[6] sebagaimana dibenci untuk memendekkannya” [Fathul-Baari 10/351 no. 5553].

4.       Disukai untuk memotong janggut dalam keadaan apapun. Ini adalah pendapat terkenal dari Para Ulama bermadzhab Hanafiyyah, Imam Ahmad, Para Ulama bermadzhab Hanabilah, dan ulama lainnya serta sebagian Tabi’in.

Telah berkata Muhammad bin Al-Hasan – shahabat besar Abu Hanifah – rahimahumallah :
”Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hanifah, dari Al-Haitsam, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma : Bahwasannya ia (Ibnu ’Umar) menggenggam jenggotnya, kemudian memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tersebut”. Berkata Muhammad (bin Al-Hasan) : Kami mengambil pendapat tersebut. Dan itulah perkataan Abu Hanifah” [Al-Aatsaar 900].

5.       Makruh Mencukur Jenggot (sunnah tapi tidak wajib)
Menurut pendapat ini menolak bahwa memelihara dan memanjangkan jenggot itu dianggap sebagai kewajiban. Meski nash-nash yang kita temui secara dzhahirnya memang memerintahkan, namun tidak semua fi’il amr selalu mengandung makna kewajiban.  Bukankah kita menemukan cukup banyak dasar masyru’iyah ibadah seperti shalat sunnah atau puasa sunnah yang menggunakan sighat amr, padahal para ulama sepakat tidak mewajibkannya.

contoh perintah mengenai shalat ‘idd:
"Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Baik wanita yang baru balig, wanita sedang haid dan wanita perawan. Sementara orang yang haid dipisahkan dari (tempat) shalat. Agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa umat Islam." Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada di antara kami yang tidak mempunyai jilbab." Beliau mengatakan, "Sebaiknya saudara perempuannya memberinya jilbab." [HR Bukhari  - Muslim]

Memelihara jenggot menurut salah satu hadits shahih disebutkan sebagai salah satu dari sepuluh fithrah. Dan umumnya apa-apa yang termasuk fithrah itu hukumnya bukan kewajiban, melainkan sunnah. Kalau kita bandingkan memelihara jenggot ini dengan sunnah fithrah yang lain misalnya memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, bersiwak dan lain-lain, maka kedudukannya sama, yaitu sama-sama sunnah dan bukan kewajiban.

Dasar pendapat ini jga karena tidak semua orang bisa punya janggut. Kalau ada orang yang punya jenggot, lalu dia ingin menjalankan apa yang menjadi perintah Nabi SAW sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas, maka tentu berpahala. Namun sebaliknya, bila seseorang ditakdirkan tidak tumbuh jenggot di dagunya, tentu dia tidak bisa dibilang berdosa. Sehingga kesimpulannya, berjenggot itu tidak wajib tetapi disunnahkan

Sedankan masalah memilahara Janggut sebagaian ulama bermazhab syafi’iah menyatakan makruh dalam perkara ini di antaranya al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Syekh Islam (Zakariya al-Anshari), Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Tuhfah, al-Ramli, al-Khatib, dan lainnya.

Kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy
Mereka (ulama) telah menyebut di sini berkenaan dengan jenggot dan seumpamanya tentang perkara-perkara yang dimakruhkan, di antaranya mencabut dan mencukur jenggot. [Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 375-376]

Kitab Asnaa al-Mathalib, karangan Zakariya al-Anshari :
Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, untuk nampak seperti orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk tampilan yang bagus. [Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 551]

Karena mayoritas masyarakat Indonesia mengakui bahwa mazhab As Syafii adalah mazhab mereka berikut pembasan labih mendalam.

Berdasarkan kesepakatan ulama Syafi’iyah bahwa yang menjadi panutan dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi dan al-Rafi’i, kemudian Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, Zakariya al-Anshari, al-Khatib dan kemudian ulama-ulama lainnya yang berada di bawahnya.

Dalam Fathul Mu’in disebutkan :
Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang mu’tamad dalam mazhab untuk penetapan hukum dan fatwa adalah apa yang menjadi kesepakatan dua syaikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i), kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi, kemudian oleh al-Rafi’i, kemudian hukum yang ditarjih oleh kebanyakan, kemudian yang lebih ‘alim dan kemudian yang lebih wara’. [Zainuddin al-malibari, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 233-234]

Al-Bakri al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (kitab hasyiah bagi kitab Fathul Mu’in di atas) menjelaskan:
Ketahuilah bahwa sesungguhnya apabila khilaf kalam muatakhirin mengenai pendapat dua syeikh (al-Nawawi dan al-Rafi’i) seperti Syeikh Islam dan murid-muridnya, maka ulama Mesir berpegang kepada pendapat yang dipegang oleh Syeikh Muhammad al-Ramli, terutama dalam kitab al-Nihayah, karena kitab tersebut sudah dibaca kepada pengarangnya hingga akhirnya pada empat ratus ulama dimana mereka mengkritik dan mentashihnya. Ulama Hazramaut dan kebanyakan ulama Yaman dan Hijaz berpedapat bahwa yang mu’tamad adalah pendapat Syeikh Ahmad Ibnu Hajar dalam semua kitabnya, bahkan terutama dalam Tuhfah, karena dalamnya diperhatikan nash-nash imam serta lebih teliti pengarangnya serta juga karena telah dibaca para ulama muhaqiqin yang tidak terbatas banyaknya. Kemudian apabila keduanya (Ibnu Hajar dan al-Ramli) tidak mengemukakan pendapat apapun, maka difatwakan dengan kalam Syeikh Islam, kalam al-Khatib, al-Ziyadi, Ibnu Qasim, ‘Amirah,ع ش (‘Ali Syibran al-Malusi), al-Halabi, al-Syaubari, dan kemudian kalam al-‘Inaani, selama mereka itu tidak menyalahi ushul mazhab [Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 234]

Imam as-Syafi’I berkata dalam al-Umm ketika berbicara tentang menggundul rambut:
“Menggundul rambut bukanlah perbuatan dosa,karena ada ibadah yang salah satunya dengan menggundul rambut serta hal ini (menggundul rambut) tidak menimbulkan sakit yang berlebih,menggundul ini -walaupun memang dalam masalah jenggot tidak boleh- tidak menimbulkan sakit yang berlebih dan tidak pula menghilangkan rambut karena nanti akan tumbuh lagi” [Al-Umm 7/203]

Perkataan Imam Syafi’i “laa yajuz” di atas, memang zhahirnya bisa bermakna haram, tetapi masih berkemungkinan bermakna nafi al-jawaz al-mustawi baina al-tharfaini (menafikan boleh dengan makna menafikan sama antara dua sisi perbuatan, yaitu sisi melakukan atau tidak melakukannya) sehingga perkataan Syafi’i tersebut masih berkemungkinan bermakna yang mencakup makruh dan haram sebagaimana penjelasan terhadap perkataanIbn al-Himam di atas. Mencakup makruh, karena makruh lebih rajih kepada tidak melakukan suatu perbuatan. Penjelasan yang mirip seperti ini juga pernah dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam mengomentari perkataan al-Hulaimy : “la yahillu zalika” (tidak halal yang demikian itu, yaitu mencukur jenggot). Al-Haitamy mengatakan
Perkataan al-Hulaimy “tidak halal yang demikian” tidak menafikan kemakruhan mencabut dan mencukur jenggot, karena masih mungkin menempatkan maksudnya itu adalah nafi halal yang sama dua sisi perbuatan.[ bnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 376]


Kesimpulan:
  1. Memelihara Janggut adalah sunnah Rasulullah. Perkara boleh atau tidaknya memotong/merapikan janggut adalah perkara khilafiyah
  2. memanjangkan janggut adalah perbuatan orang goblok adalah perkataan yang tidak berdasarkan ilmu, bisa berasal dari “dengki” atau godaan setan. Wajib bagi mereka untuk intropeksi walau hanya karena bercanda
  3. Rasulullah memelihara janggutnya, begitu juga para ulama terdahulu. Tidak di temukan riwayat bahkan yang lemah sekalipun bahwa Rasulullah mencukur rambutnya sebagaimana di tuduhkan bahwa mencukur janggut adalah lebih utama sedangkan menajangkannya adalah perbuatan orang bodoh.
  4. Pendapat mazhab syafi’I mengenai memotong janggut adalah ada yang mengharamkan ada yang memakruhkan.


Demikian Ikhtiar ane dalam memahami khilafiyah. Bila ada yang salah mohon maaf sebesar2nya. Semoga Allah memberikan petunjuk pada kita semua. Allhualam

sumber:

http://almanhaj.or.id/content/3108/slash/0/bercanda-menurut-pandangan-islam/
http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html
http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2013/02/hukum-mencukur-jenggot-menurut-mazhab.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gunakan kata-kata yang cerdas dan tidak merendahkan. Silahkan mengkritik bila ada yang menyimpang dari Ajaran Rasulullah. ^,^