Translate

1 Feb 2016

Perihal Mengkafirkan dan Menyesatkan


Hasil gambar untuk islam


Perihal Mengkafirkan dan Menyesatkan

Tuntutlah ilmu untuk mencari kebenaran, bukan pembenaran

Terkadang bila kita perhatikan bahwa tidak semua pihak dapat berpikiran objektif ketika mendalami sebuah masalah. Bahkan mungkin sekelas profesor sekalipun.  Semua tergantung niat awal kita mecari ilmu. Apakah mencari kebenaran atau pembenaran.

Di sebuah grup yang saya ikuti ada seorang yang getol banget membela pemahaman syiah. Bahkan menentang pendapat ulama hanya karena hal ini. Sebenarnya tidak sepenuhnya salah bahwa dia berpendapat tidak semua syiah adalah sesat. Sayangnya kata-kata tersebut tidak mewakili pendapat2nya yang selalu membela keberadaan pemahaman syiah.

Di lain tempat saya juga memiliki kenalan wanita (akhwat) yang rajin shalat, puasa dan zakat tapi enggan mengikuti beberapa perintah Allah SWT seperti berjilbab. Bahkan selalu membela pemahaman-pemahaman yang telah ditetapkan sesat oleh banyak ulama seperti islam liberal, islam sekuler, prilaku LGBT, dll.

Saya tidak ingin membahas mengapa syiah sesat atau tidak, liberal sesat atau tidak dan semacamnya, melainkan ingin meluruskan beberapa pendapat yang sering digunakan oleh pihak-pihak ini. Di antaranya adalah menyamakan makna sesat dan mengkafirkan. Mengapa? karena kosenkuensinya sangat berbeda.

Sekali lagi Mari kita mecoba belajar karena mencari sebuah kebenaran, bukan pembenaran.


Kafir

Kāfir (bahasa Arab: كافر kāfir; plural كفّار kuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran.  Kata ‘kafir’ akan lebih mudah dipahami jika disandingkan dengan lawan artinya yaitu ‘iman’, sebagaimana kata ‘jahil’ akan mudah dipahami jika dikaitkan dengan kata ‘alim’, atau  sebutan api dan air, siang dan malam, surga dan neraka, dst.

Persoalan takfir (menghukumi kafir) tentunya bukan sebuah perkara yang remeh. Ibarat pisau bermata dua, jika dilakukan tanpa kaedah yang berlaku, akan berbalik kepada diri sendiri.

“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia katakan (maka ia telah kafir), namun apabila tidak maka akan kembali kepada yang menuduh.” (HR. Muslim).

Namun begitu juga sebaliknya, ketika ada yang jelas kekafirannya maka wajib bagi kita mengatakan kafir kepada orang tersebut. Ketika seseorang tidak menyakini kekafiran terhadap orang-orang yang telah disebut kafir oleh Allah, maka secara tidak langsung dia sedang menolak kebenaran ayat Al-Qur’an. Sudah jelas, bahwa menolak keterangan dari Al-Qur’an tentu hukumnya adalah kafir.

“Dan tiadalah yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang kafir.” (Al-Ankabut : 47)

Kaidah mengkafirkan orang yang jelas kekafirannya telah ada sejak zaman ulama salaf terdahulu.
Imam An-Nawawi berkata, “Orang yang tidak mau mengkafirkan para pemeluk agama selain Islam seperti Nasrani atau dia ragu dengan kekufuran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir meskipun pada saat itu dia mengaku Islam dan yakin dengan hal itu.” (An-Nawawi, Raudhatu Thalibin, 10/70)

Kaidah ini juga tidak bisa diberlakukan secara mutlak. Dalam arti lain ketika ada orang yang tidak mengkafirkan orang yang melakukan kekufuran (seperti pelaku syirik, orang yang mengingkari kewajiban shalat atau perbuatan-perbuatan kufur lainnya), tidak langsung serta merta divonis kafir. Karena bisa jadi dia tidak mengkafirkan mereka karena belum terpenuhinya syarat atau ada penghalang-penghalang lainnya, seperti pelaku kekufuran tersebut jahil atau belum mengerti hakikat perbuatan yang dia lakukan. Sehingga sangat keliru jika melihat orang yang tidak mau mengkafirkan pelaku kesyirikan secara ta’yin (person) langsung dianggap kafir.

Contoh praktisnya adalah hukum meninggalkan shalat. Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menghukumi orang yang meninggalkan shalat karena malas, apakah dia kafir atau tidak? Jumhur ulama Hanafiah, Malikiah, dan Syafi’ah tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena enggan atau malas. Berbeda dengan orang yang tidak mengatakan kafir kepada pelaku ke kafiran yang jelas seperti tidak mengakui Allah SWT sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai Rasul.

Dalam Syarh Matan Al-Iqna’, Imam Al-Bahuti menjelaskan tentang sebab dikafirkannya seseorang menurut kaidah tersebut. Beliau mengatakan, “Orang yang tidak mengkafirkan mereka yang menganut agama selain Islam seperti Nasrani dan Yahudi atau dia ragu atas kekufuran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir disebabkan mendustai firman Allah, ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.’”(Lihat: Kasyfu Al-Qana ‘An Matan Al-Iqna’, 6/171)

Untuk menjelaskan kaidah wajibnya meyakini kafir kepada mereka yang jelas kekafirannya, maka perlu memahami  batasan-batasan kafir dalam islam.

Kafir Asli
Maksud kafir asli adalah seperti Yahudi, Nasrani, Majusi dan sebagainya. Dalam hal ini barangsiapa yang tidak mengkafirkan mereka atau ragu akan kekafiran mereka atau menganggap pemahaman mereka itu benar, maka ia telah kafir berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama’).

Kafir Karena Keluar dari Islam
Dalam hal ini orang murtad (keluar dari islam) sendiri dibagi menjadi dua kategori :

Pertama, Siapa saja yang menyatakan secara terang-terangan bahwa dia telah berganti agama dari Islam kepada agama selainnya seperti Yahudi, Nasrani atau Atheis, maka hukum orang ini seperti hukum kafir asli. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Barangsiapa yang mengingkari tentang kekafiran orang Yahudi dan Nasrani di mana mereka tidak beriman kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendustainya, maka dia telah berdusta kepada Allah. Hukum mendustai Allah adalah kafir, dan barangsiapa yang ragu dengan kekafiran mereka maka dia juga kafir. (Ibnu al-Utsaimin, Fatawa Wa Ahkamuhu Al-Dakhilin Fi Al-Islam, hal. 42)
Kedua, Siapa saja yang melakukan tindakan yang termasuk pembatal keislaman, akan tetapi ia menyangka bahwa perbuatan itu bukanlah pembatal keislaman dan ia masih merasa sebagai seorang muslim. Maka dalam hal ini terbagi dalam dua kategori:

1.       Barangsiapa yang melakukan perbuatan pembatal keislaman yang sharih (jelas dan nyata) seperti menghujat dan menghina Allah ta’ala, maka orang ini telah kafir menurut ijmak, dan barangsiapa yang tawaqquf atas kekafirannya, maka ia termasuk salah satu dari dua kelompok berikut:
  •  Barangsiapa yang mengakui dan meyakini bahwa menghujat Allah adalah kekafiran dan perbuatan itu menjatuhkan pelakunya pada kekafiran, tetapi dia bertawaqquf dari menvonis kafir secara mu’ayyan (individu atau person) disebabkan ketidaktahuan atau karena syubhat (keraguan) yang dia lihat, maka orang yang bertawaqquf ini telah melakukan kesalahan dan ucapannya tergolong bathil. Akan tetapi, ia tidak dikafirkan karena ia tidak menolak khabar tersebut (bahwa menghujat dan menghina Allah adalah kekufuran) atau mendustakannya, bahkan dia meyakini dan menerima khabar (hadits dan ayat Al-Qur’an) dan ijmak bahwa menghina Allah adalah kekufuran
  • Barangsiapa yang pada dasarnya memang mengingkari dan menolak bahwa menghina Allah hukumnya kafir, maka ia telah kafir setelah adanya penjelasan (hujjah-hujjah syar’iyyah). Orang tersebut dikafirkan karena ia menolak khabar dan ijmak. Hal ini sebagaimana orang yang mengaku muslim tetapi menyembah kuburan dan  menolak untuk menyatakan bahwa perbuatan itu adalah kekufuran, maka orang ini telah kafir dikarenakan ia menolak nash-nash dan ijmak. Sedangkan orang yang mengakui bahwa perbuatan tersebut termasuk kekufuran,  tetapi ia tawaqquf dari mengkafirkan pelakunya secara mu’ayyan karena ia melihat masih adanya syubhat, maka orang ini tidak boleh dikafirkan

2.       Barangsiapa yang melakukan pembatal keislaman yang masih diperselisihkan hukumnya, seperti meninggalkan shalat fardhu tanpa udzur syar’i umpamanya. Maka penetapan kekafirannya adalah masalah khilafiyyah (masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama). Orang yang berbeda pendapat dalam hal ini tidak boleh dikafirkan, tidak boleh juga disebut ahli bid’ah atau orang fasik walaupun dalam hal ini ia telah melakukan kesalahan


Sesat

sesat  dalam bahasa arab adalah dhalalah yang berarti “kesesatan atau tidak beruntung”. Akar katanya ialah : ضليضلضلالاضلالة – (dholla, yadhillu, dhlaalan dan dholaalatan ). Dholalah secara bahasa artinya kesesatan/tersesat Lawan katanya adalah : هداية (hidaayatan) yang berarti dapat petunjuk.

Maka makna sesat dapat di artikan keluar dari jalan yang benar, jalan yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah. Sebuah kaidah sagat tepat, ‘setiap orang kafir pasti sesat, namun belum tentu orang sesat itu kafir’ karena orang yang sesat adalah tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam atau tidak menjadikan dirinya kafir selama meyakini rukun Islam dan Iman secara utuh.

Diskursus tentang sesat-menyesatkan telah ada sejak generasi awal kedatangan Islam, terutama muculnya firqah-firqah yang jelas-jelas menyimpang dari Islam yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Tersebutlah aliran Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Musyabbihah, Jahmiyah, Salimiayyah.

Saling menyesatkan tidak hanya monopoli antara satu aliran ke aliran lainnya, melainkan kerap juga terjadi intra-aliran. Ahlussunnah yang memiliki banyak sel-sel kerap saling menyesatkan. Untuk kasus Indonesia misalnya, Nahdatul Ulama (NU) yang mengusung aliran ‘Aswaja’ singkatan dari Ahlussunnah wal Jamaah dengan tegas menyesatkan golongan ‘Salafi-Wahabi’ karena dianggap kaku dan tekstual dalam menafsirkan nas serta sangat puritan dalam mengamalkan ajaran Islam, (Muhammad Idrus Ramli, Bekal Pembela Ahlussunnah Wal-Jama’ah Menghadapi Radikalisme Salafi-Wahabi, 2013; Dr. KH. Mustamin Arsyad, Islam Moderat, Refleksi Pengamalan Ajaran Tasauf, 2012; Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, 2011).

Namun Salafi-Wahhabi –sebagaimana Muhammadiyah pada awalnya—lebih dulu menyerang dan menyesatkan para pelaku bid’ah, khurafat, dan tahyul (TBC) yang ternyata disinyalir banyak diamalkan oleh para pengikut yang mengklaim diri mereka sebagai ‘Aswaja’, (AM. Waskito, Bersikap Adil Kepada Wahabi, 2011). Padahal sejatinya kedua golongan di atas masih dalam koridor Ahlussunnah karena masih memiliki rukun Islam dan Iman yang satu. Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan aliran Syiah yang memiliki rukun Islam dan Iman tersendiri, sebagaimana yang tertulis dalam “Emilis Renita, 40 Masalah Syiah, 2009”.

Ibnu Taimiyah, seorang ulama dan pejuang, memiliki nalar yang tajam, berusaha mengidentifikasi penyebab kesesatan seorang muslim, menurutnya, sumber kesesatan berasal dari kejahilan yang hanya mengikuti nenek moyangnya atau orang-orang yang mereka kagumi yang sudah lebih dulu tersesat sehingga ia menyimpang dari jalan yang lurus karena kejahilannya terhadap perintah dan larangan Allah, atau bisa juga karena mengikuti hawa nafsunya sehingga ia beribadah tanpa dasar dan petunjuk dari Allah (Ummu Tamim Izzah binti Rasyad, Aqai’d al-Firaq adh-Dhalah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah, 2010).

Sebagaimana orang liberal yang hanya beribadah jika sesuai dengan logikanya (akal). Padahal dalam beragama sudah ada rumus baku, dalam ranah muamalat, kita dibolehkan melakukan segala bentuk aktifitas, termasuk makan dan minum hingga menemukan larangan (al-Ashlu fil muamalat halalun illa ma dalla ad-dalilu ‘ala tahrimihi), dalam beribadah, terbalik, kita dilarang untuk beribadah, sampai ada dalil yang memerintah atau menganjurkan (al-ashlu fil ‘ibadati haramun illa ma dalla ad-dalilu ‘ala wujudihi). Di sinilah kesesatan kerap bermula,  bagi yang beribadah tidak sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunnah, serta contoh dari Rasulullah dan para salafus-shalih. Tidak hanya itu, terlalu banyak golongan yang kerap melakukan perkara-perkara baru dalam beribadah (bid’ah), lalu dinisbahkan pada Rasulullah.  Bid’ah  juga bertingkat-tingkat volume kesesatannya, yang terbesar adalah bid’ah akidah, termasuk aliran yang merombak lalu mengotak-atik (dekonstruksi) pondasi agama (rukun Islam dan Imam).



Kesimpulannya bila kaidah sesat dan kafir di telaah bisa di simpulkan bahwa selama pelaku amalan yang sesat masih berada di dalam koridar iman (tidak keluar dari Islam) maka di harapkan  kelak juga akan masuk surga setelah melalui pencucian di neraka, sebagaimana para penganut Ahlussunnah yang melakukan dosa besar (fasiq) lalu belum bertobat atau belum diterima tobatnya, juga akan dicuci di neraka yang durasi waktunya sesuai kadar volume dosa.

dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gunakan kata-kata yang cerdas dan tidak merendahkan. Silahkan mengkritik bila ada yang menyimpang dari Ajaran Rasulullah. ^,^