Perihal Mengkafirkan dan Menyesatkan
Tuntutlah ilmu untuk mencari kebenaran, bukan pembenaran
Terkadang
bila kita perhatikan bahwa tidak semua pihak dapat berpikiran objektif ketika mendalami
sebuah masalah. Bahkan mungkin sekelas profesor sekalipun. Semua tergantung niat awal kita mecari ilmu.
Apakah mencari kebenaran atau pembenaran.
Di sebuah
grup yang saya ikuti ada seorang yang getol banget membela pemahaman syiah. Bahkan
menentang pendapat ulama hanya karena hal ini. Sebenarnya tidak sepenuhnya
salah bahwa dia berpendapat tidak semua syiah adalah sesat. Sayangnya kata-kata
tersebut tidak mewakili pendapat2nya yang selalu membela keberadaan pemahaman syiah.
Di lain
tempat saya juga memiliki kenalan wanita (akhwat) yang rajin shalat, puasa dan
zakat tapi enggan mengikuti beberapa perintah Allah SWT seperti berjilbab. Bahkan
selalu membela pemahaman-pemahaman yang telah ditetapkan sesat oleh banyak
ulama seperti islam liberal, islam sekuler, prilaku LGBT, dll.
Saya tidak
ingin membahas mengapa syiah sesat atau tidak, liberal sesat atau tidak dan
semacamnya, melainkan ingin meluruskan beberapa pendapat yang sering digunakan oleh
pihak-pihak ini. Di antaranya adalah menyamakan makna sesat dan mengkafirkan. Mengapa?
karena kosenkuensinya sangat berbeda.
Sekali lagi
Mari kita mecoba belajar karena mencari sebuah kebenaran, bukan pembenaran.
Kafir
Kāfir (bahasa
Arab: كافر
kāfir; plural كفّار
kuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari
kebenaran. Kata ‘kafir’
akan lebih mudah dipahami jika disandingkan dengan lawan artinya yaitu ‘iman’,
sebagaimana kata ‘jahil’ akan mudah dipahami jika dikaitkan dengan kata ‘alim’,
atau sebutan api dan air, siang dan
malam, surga dan neraka, dst.
Persoalan takfir (menghukumi kafir) tentunya bukan
sebuah perkara yang remeh. Ibarat pisau bermata dua, jika dilakukan tanpa
kaedah yang berlaku, akan berbalik kepada diri sendiri.
“Barangsiapa
yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali
kepada salah satu dari keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia
katakan (maka ia telah kafir), namun apabila tidak maka akan kembali kepada
yang menuduh.” (HR. Muslim).
Namun begitu juga sebaliknya, ketika ada yang jelas
kekafirannya maka wajib bagi kita mengatakan kafir kepada orang tersebut. Ketika
seseorang tidak menyakini kekafiran terhadap orang-orang yang telah disebut
kafir oleh Allah, maka secara tidak langsung dia sedang menolak kebenaran ayat
Al-Qur’an. Sudah jelas, bahwa menolak keterangan dari Al-Qur’an tentu hukumnya
adalah kafir.
“Dan tiadalah
yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang kafir.” (Al-Ankabut : 47)
Kaidah mengkafirkan orang yang jelas kekafirannya
telah ada sejak zaman ulama salaf terdahulu.
Imam An-Nawawi berkata, “Orang yang tidak mau mengkafirkan para pemeluk agama selain Islam
seperti Nasrani atau dia ragu dengan kekufuran mereka atau membenarkan ajaran
mereka, maka dia kafir meskipun pada saat itu dia mengaku Islam dan yakin
dengan hal itu.” (An-Nawawi, Raudhatu Thalibin, 10/70)
Kaidah ini juga tidak bisa diberlakukan secara mutlak.
Dalam arti lain ketika ada orang yang tidak mengkafirkan orang yang melakukan
kekufuran (seperti pelaku syirik, orang yang mengingkari kewajiban shalat atau
perbuatan-perbuatan kufur lainnya), tidak langsung serta merta divonis kafir.
Karena bisa jadi dia tidak mengkafirkan mereka karena belum terpenuhinya syarat
atau ada penghalang-penghalang lainnya, seperti pelaku kekufuran tersebut jahil
atau belum mengerti hakikat perbuatan yang dia lakukan. Sehingga sangat keliru
jika melihat orang yang tidak mau mengkafirkan pelaku kesyirikan secara ta’yin
(person) langsung dianggap kafir.
Contoh praktisnya adalah hukum meninggalkan shalat.
Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menghukumi orang yang meninggalkan
shalat karena malas, apakah dia kafir atau tidak? Jumhur ulama Hanafiah,
Malikiah, dan Syafi’ah tidak mengkafirkan
orang yang meninggalkan shalat karena enggan atau malas. Berbeda dengan orang
yang tidak mengatakan kafir kepada pelaku ke kafiran yang jelas seperti tidak
mengakui Allah SWT sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai Rasul.
Dalam Syarh Matan Al-Iqna’, Imam Al-Bahuti menjelaskan
tentang sebab dikafirkannya seseorang menurut kaidah tersebut. Beliau
mengatakan, “Orang yang tidak mengkafirkan mereka yang menganut agama selain
Islam seperti Nasrani dan Yahudi atau dia ragu atas kekufuran mereka atau
membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir disebabkan mendustai firman Allah,
‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi.’”(Lihat: Kasyfu Al-Qana ‘An Matan Al-Iqna’, 6/171)
Untuk menjelaskan kaidah wajibnya meyakini kafir
kepada mereka yang jelas kekafirannya, maka perlu memahami batasan-batasan kafir dalam islam.
Kafir Asli
Maksud kafir asli adalah seperti Yahudi, Nasrani,
Majusi dan sebagainya. Dalam hal ini barangsiapa yang tidak mengkafirkan mereka
atau ragu akan kekafiran mereka atau menganggap pemahaman mereka itu benar,
maka ia telah kafir berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama’).
Kafir Karena Keluar
dari Islam
Dalam hal ini orang murtad (keluar dari islam) sendiri
dibagi menjadi dua kategori :
Pertama,
Siapa saja yang menyatakan secara terang-terangan bahwa dia telah berganti
agama dari Islam kepada agama selainnya seperti Yahudi, Nasrani atau Atheis,
maka hukum orang ini seperti hukum kafir asli. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata,
“Barangsiapa yang mengingkari tentang kekafiran orang Yahudi dan Nasrani di
mana mereka tidak beriman kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mendustainya, maka dia telah berdusta kepada Allah. Hukum mendustai
Allah adalah kafir, dan barangsiapa yang ragu dengan kekafiran mereka maka dia
juga kafir. (Ibnu al-Utsaimin, Fatawa Wa Ahkamuhu Al-Dakhilin Fi Al-Islam, hal.
42)
Kedua,
Siapa saja yang melakukan tindakan yang termasuk pembatal keislaman, akan
tetapi ia menyangka bahwa perbuatan itu bukanlah pembatal keislaman dan ia
masih merasa sebagai seorang muslim. Maka dalam hal ini terbagi dalam dua
kategori:
1.
Barangsiapa yang melakukan
perbuatan pembatal keislaman yang sharih (jelas dan nyata) seperti menghujat
dan menghina Allah ta’ala, maka orang ini telah kafir menurut ijmak, dan
barangsiapa yang tawaqquf atas kekafirannya, maka ia termasuk salah satu dari
dua kelompok berikut:
- Barangsiapa yang mengakui dan meyakini bahwa menghujat Allah adalah kekafiran dan perbuatan itu menjatuhkan pelakunya pada kekafiran, tetapi dia bertawaqquf dari menvonis kafir secara mu’ayyan (individu atau person) disebabkan ketidaktahuan atau karena syubhat (keraguan) yang dia lihat, maka orang yang bertawaqquf ini telah melakukan kesalahan dan ucapannya tergolong bathil. Akan tetapi, ia tidak dikafirkan karena ia tidak menolak khabar tersebut (bahwa menghujat dan menghina Allah adalah kekufuran) atau mendustakannya, bahkan dia meyakini dan menerima khabar (hadits dan ayat Al-Qur’an) dan ijmak bahwa menghina Allah adalah kekufuran
- Barangsiapa yang pada dasarnya memang mengingkari dan menolak bahwa menghina Allah hukumnya kafir, maka ia telah kafir setelah adanya penjelasan (hujjah-hujjah syar’iyyah). Orang tersebut dikafirkan karena ia menolak khabar dan ijmak. Hal ini sebagaimana orang yang mengaku muslim tetapi menyembah kuburan dan menolak untuk menyatakan bahwa perbuatan itu adalah kekufuran, maka orang ini telah kafir dikarenakan ia menolak nash-nash dan ijmak. Sedangkan orang yang mengakui bahwa perbuatan tersebut termasuk kekufuran, tetapi ia tawaqquf dari mengkafirkan pelakunya secara mu’ayyan karena ia melihat masih adanya syubhat, maka orang ini tidak boleh dikafirkan
2.
Barangsiapa yang melakukan
pembatal keislaman yang masih diperselisihkan hukumnya, seperti meninggalkan
shalat fardhu tanpa udzur syar’i umpamanya. Maka penetapan kekafirannya adalah
masalah khilafiyyah (masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama).
Orang yang berbeda pendapat dalam hal ini tidak boleh dikafirkan, tidak boleh
juga disebut ahli bid’ah atau orang fasik walaupun dalam hal ini ia telah
melakukan kesalahan
Sesat
sesat dalam
bahasa arab adalah dhalalah yang berarti “kesesatan atau tidak beruntung”. Akar
katanya ialah : ضل – يضل –ضلالا – ضلالة – (dholla, yadhillu, dhlaalan dan
dholaalatan ). Dholalah secara bahasa artinya kesesatan/tersesat Lawan katanya
adalah : هداية
(hidaayatan) yang berarti dapat petunjuk.
Maka makna sesat dapat di artikan keluar dari jalan
yang benar, jalan yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah. Sebuah kaidah sagat
tepat, ‘setiap orang kafir pasti sesat, namun belum tentu orang sesat itu
kafir’ karena orang yang sesat adalah tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam
atau tidak menjadikan dirinya kafir selama meyakini rukun Islam dan Iman secara
utuh.
Diskursus tentang sesat-menyesatkan telah ada sejak
generasi awal kedatangan Islam, terutama muculnya firqah-firqah yang
jelas-jelas menyimpang dari Islam yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah dan
para sahabatnya. Tersebutlah aliran Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Musyabbihah,
Jahmiyah, Salimiayyah.
Saling menyesatkan tidak hanya monopoli antara satu
aliran ke aliran lainnya, melainkan kerap juga terjadi intra-aliran.
Ahlussunnah yang memiliki banyak sel-sel kerap saling menyesatkan. Untuk kasus
Indonesia misalnya, Nahdatul Ulama (NU) yang mengusung aliran ‘Aswaja’
singkatan dari Ahlussunnah wal Jamaah dengan tegas menyesatkan golongan
‘Salafi-Wahabi’ karena dianggap kaku dan tekstual dalam menafsirkan nas serta
sangat puritan dalam mengamalkan ajaran Islam, (Muhammad Idrus Ramli, Bekal
Pembela Ahlussunnah Wal-Jama’ah Menghadapi Radikalisme Salafi-Wahabi, 2013; Dr.
KH. Mustamin Arsyad, Islam Moderat, Refleksi Pengamalan Ajaran Tasauf, 2012;
Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, 2011).
Namun Salafi-Wahhabi –sebagaimana Muhammadiyah pada
awalnya—lebih dulu menyerang dan menyesatkan para pelaku bid’ah, khurafat, dan
tahyul (TBC) yang ternyata disinyalir banyak diamalkan oleh para pengikut yang
mengklaim diri mereka sebagai ‘Aswaja’, (AM. Waskito, Bersikap Adil Kepada
Wahabi, 2011). Padahal sejatinya kedua golongan di atas masih dalam koridor
Ahlussunnah karena masih memiliki rukun Islam dan Iman yang satu. Berbalik
seratus delapan puluh derajat dengan aliran Syiah yang memiliki rukun Islam dan
Iman tersendiri, sebagaimana yang tertulis dalam “Emilis Renita, 40 Masalah
Syiah, 2009”.
Ibnu Taimiyah, seorang ulama dan pejuang, memiliki
nalar yang tajam, berusaha mengidentifikasi penyebab kesesatan seorang muslim,
menurutnya, sumber kesesatan berasal dari kejahilan yang hanya mengikuti nenek
moyangnya atau orang-orang yang mereka kagumi yang sudah lebih dulu tersesat
sehingga ia menyimpang dari jalan yang lurus karena kejahilannya terhadap
perintah dan larangan Allah, atau bisa juga karena mengikuti hawa nafsunya
sehingga ia beribadah tanpa dasar dan petunjuk dari Allah (Ummu Tamim Izzah
binti Rasyad, Aqai’d al-Firaq adh-Dhalah wa Aqidah al-Firqah an-Najiyah, 2010).
Sebagaimana orang liberal yang hanya beribadah jika
sesuai dengan logikanya (akal). Padahal dalam beragama sudah ada rumus baku,
dalam ranah muamalat, kita dibolehkan melakukan segala bentuk aktifitas,
termasuk makan dan minum hingga menemukan larangan (al-Ashlu fil muamalat halalun
illa ma dalla ad-dalilu ‘ala tahrimihi), dalam beribadah, terbalik, kita
dilarang untuk beribadah, sampai ada dalil yang memerintah atau menganjurkan
(al-ashlu fil ‘ibadati haramun illa ma dalla ad-dalilu ‘ala wujudihi). Di
sinilah kesesatan kerap bermula, bagi
yang beribadah tidak sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunnah, serta contoh
dari Rasulullah dan para salafus-shalih. Tidak hanya itu, terlalu banyak
golongan yang kerap melakukan perkara-perkara baru dalam beribadah (bid’ah),
lalu dinisbahkan pada Rasulullah.
Bid’ah juga bertingkat-tingkat
volume kesesatannya, yang terbesar adalah bid’ah akidah, termasuk aliran yang
merombak lalu mengotak-atik (dekonstruksi) pondasi agama (rukun Islam dan
Imam).
Kesimpulannya bila kaidah sesat dan kafir di telaah bisa
di simpulkan bahwa selama pelaku amalan yang sesat masih berada di dalam
koridar iman (tidak keluar dari Islam) maka di harapkan kelak juga akan masuk surga setelah melalui
pencucian di neraka, sebagaimana para penganut Ahlussunnah yang melakukan dosa
besar (fasiq) lalu belum bertobat atau belum diterima tobatnya, juga akan
dicuci di neraka yang durasi waktunya sesuai kadar volume dosa.
dari
berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakan kata-kata yang cerdas dan tidak merendahkan. Silahkan mengkritik bila ada yang menyimpang dari Ajaran Rasulullah. ^,^