Translate

25 Mei 2018

Puasa Ibu Hamil dan Menyusui

Puasa Ibu Hamil dan menyusui

Khilafiyah Puasa Ibu Hamil Dan Menyusui

Menurut Imam An Nawawi khilafiya ini dibagi menjadi 4 pendapat

Menurut Imam An Nawawi khilafiya ini dibagi menjadi 4 pendapat

  1. Adanya kewajiban Fidyah namun tidak ada kewajiban Qada. Pendapat beberapa sahabat Rasulullah SAW yakni Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sa’id bin Jubair dan Syaikh Al Abani. Pendapat ini juga di ambil oleh sebagian Ulama Muhamadiyah.
  2. Adanya kewajiban Qadha, tanpa ada kewajiban fidyah. Sama seperti halnya orang sakit. Pendapat Abu Hanifah, Ats Tsauri, Ulama Mazhab Zhahiri, Syaikh Bin Baz, Lembaga Fatwa Saudi Lajnah Daimah, MUI
  3. Adanya kewajiban Qada dan kewajiban Fidyah. Pendapat Imam Syafi’I, hambali dan Imam Ahmad. Ini juga pendapat yg di gunakan mayoritas Ulama NU
  4. Wanita hamil: Wajib Qada tanpa ada kewajiban Fidyah. Sedangkan ibu menyusui wajib Qada dan Fidyah. Pendapat imam Malik dan sebagian ulama syafi’iah

Kitab Al Majmu

Ada pendapat ke 5 yakniTidak diwajibkannya Qada dan tidak pula Fidyah
Ini adalah pendapat Ibnu Hazm. Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276


Beliau berkata:
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodhodan fidyah (memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”
Namun banyak ulama telah menyanggah perkataan di atas Sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit

Dalil Yang Menyatakan cukup Fidyah
perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil).
Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)

“Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)

Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir –Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin). (HR. Abu Daud no. 2318)

Ayat ini juga dalil bahwa wanita hamil atau meyusui dan merasa berat menjalankan puasa dapat memilih untuk membayarkan fidyah saja.

Pendapat Mazhab Hanafi (Qada tanpa Fidyah)


As-Sarakhsi* (w.483H) salah seorang ulama Hanafiyah menyebutkan:

Ketika wanita hamil atau menyusui dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa, sebagaimana hadis nabi Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa.Karena kesulitan yang menimpa dirinya, maka kesulitan ini merupakan suatu udzur untuk tidak berpuasa, seperti halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa fidyah

As-SarakhsiAl-Mabsuth, jilid 3, hal 99.

Alasan Dan Dalil Wajib Qada tanpa adanya kewajiban Fidya:


Dalil pertama Hadis Dari Anas bin Malik, ia berkata

,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. An Nasai no. 2274 )

Catatan untuk ayat di atas menurut Ulama yg berpendapat cukup Qada:
  • Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir dan ulama sepakat tidak ada keringan shalat bagi wanita hamil dan menyusui.
  • Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir.
  • Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah
  • Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui.
  • Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahualaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”
(Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224)

Dalil ini juga dijadikan bantahan kepada ulama yg membedakan hukum kepada wanita hamil dan hukum kepada wanita menyusui ketika tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.(mazhab maliki)

Dalil Kedua Ayat Al Baqarah 184
Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Ulama yg mewajibkan Qada tanpa Fidyah menganggap Wanita hamil dan menyusui memiliki uzur yg bisa di samakan seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata
Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodhoketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,

Barangsiapa yang memilih qodhosaja atau fidyah saja itu lebih utamawallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih mengqodhosaja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir(Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277)

Ibnu Hazm rahimahullah, beliau mengatakan terkait pendapat yg membedakan antara ibu hamil dan menyusui
“Imam Malik
berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodhopuasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya.”(Al Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264)

Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah (memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya menunaikan fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ketika menafsirkan Al Baqarah 184
Dalil ke tiga adalah Surat Al Baqarah 185

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan ituDan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodhopuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak berpuasa karena ada udzur maka hendaklah ia mengqodho’ (mengganti) puasanya di hari yang lain. Wanita hamil, wanita menyusui, wanita nifas, wanita haidh, kesemuanya meninggalkan puasa Ramadhan karena ada udzur. Jika keadaan mereka seperti ini, maka wajib bagi mereka mengqodhopuasa karena diqiyaskan dengan orang sakit dan musafir

Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan Si Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus. (si ibu dikhawatirkan sakit atau kekurangan gizi)


Pendapat Mazhab Syafi’iah dan Hambali


Asy Syairozi -salah seorang ulama Syafi’i- berkata, Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadhatanpa ada kafarah (fidyah). Keadaan mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduanya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada tiga pendapat.” (Al Majmu’, 6: 177)
1. Wanita hamil atau menyusui tak sanggup berpuasa karena fisiknya(sakit). Maka Wajib Qada tanpa ada fidyah. Ini tidak khilafiyah
2. Wanita hamil atau menyusui sanggup berpuasa namun khawatir terhadap anaknya sehingga tidak berpuasa. Maka wajib Qada dan Fidyah. Ini pendapat mazhab Syafi’I dan mazhab Hambali
3. Wanita hamil atau menyusui sanggup berpuasa namun khawatir terhadap anaknya sehingga tidak berpuasa. Maka wajib Qada tanpa Fidyah.

Ibnu Qudamah (w.620 H), ulama dari mazhab hambali dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan:
Bagi wanita hamil ketika mengkhawatirkan kondisi janinnya, ataupun wanita menyusui yang mengkhawatirkan kondisi bayinya, jika tidak berpuasa, wajib mengqadha dan membayar fidyah untuk orang miskin dari setiap hari yang ditinggalkan. Secara umum wanita hamil dan menyusui kalau keduanya mengkhawatirkan kondisi diri mereka(sakit), maka bagi keduanya boleh tidak puasa, dan cukup bagi keduanya mengqadhanya saja.[
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3, hal 149

Pendapat Mazhab Maliki

Imam Malik (w.179H) yang merupakan pendiri madzhab Maliki, beliau menyebutkan dalam kitabnya Al-Mudawanah:
Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga mampu menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewakan ibu susuan bagi bayinya. Tapi kalau sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka, dimana dia harus mengqadha dan membayar  fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, yaitu satu mud untuk orang setiap orang miskin. Kemudian imam Malik menyebutkan: bagi wanita hamil tidak wajib membayar fidyah. Kalau dia telah sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan.
Malik, Al-Mudawanahjilid 1, hal 278

Bantahan yg hanya wewajibkan Fidyah semata, tanpa QadaDalil-dalilnya:


Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadhasaja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadhakarena sudah dimaklumi bahwa qadha itu ada.” (Syarhul Mumthi’, 6: 350
Ibnu Qudamah berkata, Wanita hamil dan menyusui adalah orang yang masih mampu mengqadhapuasa (tidak sama seperti orang yang sepuh). Maka qadhatetap wajib sebagaimana wanita yang mengalami haidh dan nifas.
Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 menunjukkan kewajiban fidyah, namun itu tidak menafikan adanya qadhapuasa karena pertimbangan dalil yang lain

"(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (AL Baqarah 184)

Dalam Al Baqarah ayat 184 di atas orang yg tidak sanggup berpuasa di berikan pilihan untuk mencukupkan dengan membayar Fidyah. Namun di ayat selanjutnya (Al Baqarah 185) ada hukum yg mewajibkan mereka yg tidak berpuasa pada bulan Ramadhan wajib menggantinya di hari-hari yg lain:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan ituDan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqodhopuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)

Fuqaha Menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 184 ini, bagi mereka yg berat menjalankannya adalah mereka yg memang tidak lagi sangup berpuasa seperti orang tua atau orang yang sakit secara terus menerus. Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat ini
.

Hukum Puasa Qada yang terlewat


Orang sakit, musafir, ibu hamil dan menyusui punya kewajiban mengQada puasa sebagaimana pendapat mazhab2 yg ada. Namun bagaimana hukumnya bila terlewat/tidak sempat sehingga bertemu Ramadhan berikutnya.

Berikut khilafiyahnya
1.Wajib melanjutkan Qada Puasa di tahun berikutnya dan membayar Fidyah. Ini adalah pendapat jumhur Ulama mazhab Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad
2.Wajib melanjutkan Qada Puasa di tahun berikutnya namun tidak perlu membayar Fidyah. Pendapat Ulama Mazhab Hanafi dan Imam Hasan Al Bashri. Ini pendapat yg di ikuti warga Nahdiyin dan Tarjih Muhammadiyah.


Dalil Ulama Yang Mewajibkan Qada pada Tahun berikutnya dan membayar Fidyah karena terlewat kewajiban Qada Puasa pada Tahun sebelumnya
yang wajib qadha dan fidyah] adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha) puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba) didasarkan pada hadits, ‘Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,’ HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi.
Pendapat ini adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meninggalkan kewajiban mengqadhapuasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar‘i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan. Karena itu wajib mengqadhaserta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah).
Fidyah yg di bebankanpun berlipat mengikuti berapa tahun telah di lalui. Ini pendapat mazhab syafii.

Maksudnya berlipat. :

  • Misal tahun 2013 kita tidak berpuasa Ramadhan selama 10 hari. Saat ini adalah tahun 2018.
  • Dari tahun 2013 – 2018 puasa 10 hari tersebut belum di bayar. Maka kita telah meninggalkan puasa Wajib selama 5 Tahun
  • Setiap Tahun kafarat fidyah yg harus di bayarkan adalah 1 mud. Karena telah berlangsung selama 5 tahun maka kafaratnya adalah 1 x 5 = 5 mud.
  • Jadi untuk 10 hari yg kita tinggalkan kita wajib membayar kafarat 5 mud untuk jangka 1 tahun
  • 1 mud = 0.688 liter beras
  • 5 mud = 3.44 liter beras
  • 1 liter beras yg biasa dimakan = 10.000
  • Maka fidyah berupa uang adalah 3.44*10.000 = 34.400
  • Dan akan terus meningkat selama Qada puasa tidak di jalankan

Dalil Ulama Yang Mewajibkan Qada pada Tahun berikutnya tanpa membayar Fidyah karena terlewat kewajiban Qada Puasa pada Tahun sebelumnya

1. Menurut mereka tidak boleh kita mengqiyas ibadah puasa seperti pendapat sebelumnya. Karena orang yang sengaja meninggalkan puasa Ramadhan tanpa ada uzur Syar’i tidak bisa di samakan dengan orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena memang ada uzur yang di perbolehkan secara syar’i.

2. Sedangkan dalil yang menerangkan waktu Qada pada hari-hari lain tidak sebutkan secara jelas batas akhir waktu kapan mengganti puasa. Dalil yang ada hanya menjelaskan hukum orang yang meninggalkan puasa ramadhan dan apa kafaratnya.

Sebagai catatan. Pendapat ulama terkait Qada Puasa yang terlewat adalah terkait karena adanya uzur. Maka hukumnya adalah mengQada pada tahun berikutnya tanpa di kenaik Fidyah dan tidak berdosa.

Bila tidak sempat dan telah sampai pada ajalnya, makwa walinya yg paling dekat melanjutkan kewajiban dia berpuasa.

Bila sengaja meninggalkan Qada puasa maka berlaku kafarat di mana harus menjalankan Qada puasa padah tahun berikutnya dan Fidyah. Dan diapun harus bertaubat, karena hal tersebut adalah dosa.

Hukum Puasa Qada Bagi Mereka yang telah meninggal


“Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan kewajiban qadha puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuk menggantikannya.” (HR Bukhari).

Menurut Hanafi, Syafi’I, dan Hanbali, anak yang tertua tersebut harus menyedekahkan hartanya satu mud setiap hari untuk puasa yang ditinggalkan orang tuanya. 

Menurut Mazhab Maliki, sang wali harus menyedekahkannya selama ia berwasiat untuk bersedekah. Tetapi, bila tidak, ia tidak wajib bersedekah.


Hukum Lupa jumlah bilangan puasa wajib yg telah di tinggalkan


Dalam keadaan seperti ini, alangkah bijak jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum. Lantaran kelebihan hari qadha' puasa adalah lebih baik ketimbang kurang. Dimana kelebihan hari qadha' tersebut akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

Puasa Qada bagi orang Tua atau orang sakit yg tidak lagi mampu berpuasa

Hal ini di kecualikan bagi mereka yg sakit secara terus menerus atau sudah tidak lagi sanggup berpuasa. Sebagaimana Hadis:

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: "Telah diringankan bagi orang yang sudah tua untuk berbuka puasa (di bulan Ramadhan) dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap hari (sesuai dengan hari yang ia tidak puasa) dan tidak wajib mengganti dengan puasa (qada)." [HR. al-Hakim, hadis ini shahih menurut syarat al-Bukhari]

Takaran Fidyah

Ada perbedaan pendapat terkait takaran Fidyah

  1. Syaik Utsaimin: 1 mud (0.42 kg Gandum) atau 2 Mud untuk selain gandum
  2. Al Lajnah Ad Daimah, Syaikh Bin Baz, Syaikh Sholih Al Fauzan : setengah sho dari makan pokok di negri masing2 (2 mud atau 1.5 Kg Beras)
  3. Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa kadar fidyah adalah 1 mud bagi setiap hari tidak berpuasa
  4. ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kadar fidyah yang wajib adalah dengan 1 sho’ kurma, atau 1 sho’ sya’ir (gandum) atau ½ sho’ hinthoh (biji gandum)
  5. Anas Bin Malik: satu porsi makanan yang masak beserta lauk pauknya


Cara Pembayaran Fidyah


  • Semua dalil yang ada menunjukan bahwa Fidyah diperuntukan untuk membari makan orang miskin
  • Ulama berbeda pendapat apakah boleh di konversi kedalam bentuk uang
  • Ulama yg membolehkan mengkonversi kedalam bentuk uang sepakat tidak boleh di berikan kepada seorang yg teridikasi akan di gunakan untuk berfoya2, perkara sybhat atau bahkan haram atau lembaga yg tidak bisa di percaya
  • Ulama yg membolehkan mengkonversi kedalam bentuk uang sepakat bahwa si lembaga penyalur dana fidyah harus di berikan ke yg berhak dalam bentuk makanan. Bukan sejumlah uang yg takarannya menselisihi dalil yg ada
  • Adapun memberikan seluruh fidyah kepada satu miskin saja, maka sebagian fuqaha melarangnya karena tidak sesuai dengan nas-nas diatas, namun Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ membolehkannya.
Jumhur ulama (syafi’I, ahmad, lembaga fatwa arab Saudi) berpedapat mengikuti keaslian ayat tersebut (yakni berupa makanan)

Mazhab Hanafi boleh mengkonversi nilainya kedala uang, melihat kemashlatan yg ada
Cara membayar fidyah dengan memberikan makanan kepada orang miskin ada dua:

Pertama, dengan dibuatkan makanan (siap saji), kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari puasa yang ditinggalkan, sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radliallahu ‘anhu ketika di sudah tua.

Kedua, memberi bahan makanan kepada mereka yang belum dimasak. Para ulama mengatakan: besarnya: 1 mud (0,75 kg) untuk gandum atau setengah sha’ (2 mud = 1,5 kg) untuk selain gandum….. akan tetapi, untuk pembayaran fidyah model kedua ini, selayaknya diberikan dengan sekaligus lauknya, baik daging atau yang lainnya. Sehingga bisa memenuhi makna teks ayat


Sumber:

https://rumahfiqih.com/y.php?id=513&konsekuensi-bagi-ibu-hamil-dan-menyusui-yang-meninggalkan-puasa-qadha-atau-fidyah.htm#_ftn2
https://rumaysho.com/7700-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui-apakah-wajib-qadha.html
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/07/08/mplngp-apa-sanksi-menunda-qadha-puasa
https://rumaysho.com/1085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-184
https://konsultasisyariah.com/5898-ukuran-fidyah.html
https://rumaysho.com/1140-cara-pembayaran-fidyah-puasa.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gunakan kata-kata yang cerdas dan tidak merendahkan. Silahkan mengkritik bila ada yang menyimpang dari Ajaran Rasulullah. ^,^