Khilafiyah Puasa Ibu Hamil Dan Menyusui
Menurut Imam An Nawawi khilafiya ini dibagi menjadi 4 pendapat
Menurut Imam An Nawawi khilafiya ini dibagi menjadi 4 pendapat
- Adanya kewajiban Fidyah namun tidak ada kewajiban Qada. Pendapat beberapa sahabat Rasulullah SAW yakni Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sa’id bin Jubair dan Syaikh Al Abani. Pendapat ini juga di ambil oleh sebagian Ulama Muhamadiyah.
- Adanya kewajiban Qadha, tanpa ada kewajiban fidyah. Sama seperti halnya orang sakit. Pendapat Abu Hanifah, Ats Tsauri, Ulama Mazhab Zhahiri, Syaikh Bin Baz, Lembaga Fatwa Saudi Lajnah Daimah, MUI
- Adanya kewajiban Qada dan kewajiban Fidyah. Pendapat Imam Syafi’I, hambali dan Imam Ahmad. Ini juga pendapat yg di gunakan mayoritas Ulama NU
- Wanita hamil: Wajib Qada tanpa ada kewajiban Fidyah. Sedangkan ibu menyusui wajib Qada dan Fidyah. Pendapat imam Malik dan sebagian ulama syafi’iah
Kitab Al Majmu
Ada pendapat ke 5 yakni “Tidak diwajibkannya Qada dan tidak pula Fidyah”
Ini adalah pendapat Ibnu Hazm. Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276
Beliau berkata:
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”
Namun banyak ulama telah menyanggah perkataan di atas Sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit
Dalil Yang Menyatakan cukup Fidyah
Ayat
ini
menunjukkan
keringanan
bagi
laki-laki
dan
perempuan
yang sudah
tua
renta
dan
mereka
merasa
berat
berpuasa,
mereka
dibolehkan
untuk
tidak
berpuasa,
namun
mereka
diharuskan
untuk
memberi
makan
setiap
hari
satu
orang miskin
sebagai
ganti
tidak
berpuasa.
Hal ini
juga
berlaku
untuk
wanita
hamil
dan
menyusui
jika
keduanya
khawatir
–Abu Daud
mengatakan:
khawatir
pada
keselamatan
anaknya-,
mereka
dibolehkan
tidak
berpuasa,
namun
keduanya
tetap
memberi
makan
(kepada
orang miskin). (HR. Abu Daud
no. 2318)
Ayat ini juga dalil bahwa wanita hamil atau meyusui dan merasa berat menjalankan puasa dapat memilih untuk membayarkan fidyah saja.
Dalil Ulama Yang Mewajibkan Qada pada Tahun berikutnya tanpa membayar Fidyah karena terlewat kewajiban Qada Puasa pada Tahun sebelumnya
Hal ini di kecualikan bagi mereka yg sakit secara terus menerus atau sudah tidak lagi sanggup berpuasa. Sebagaimana Hadis:
Ini adalah pendapat Ibnu Hazm. Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276
Beliau berkata:
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah (memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”
Namun banyak ulama telah menyanggah perkataan di atas Sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan kecuali sedikit
Dalil Yang Menyatakan cukup Fidyah
perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil).
Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)
“Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Ayat
ini
menunjukkan
keringanan
bagi
laki-laki
dan
perempuan
yang sudah
tua
renta
dan
mereka
merasa
berat
berpuasa,
mereka
dibolehkan
untuk
tidak
berpuasa,
namun
mereka
diharuskan
untuk
memberi
makan
setiap
hari
satu
orang miskin
sebagai
ganti
tidak
berpuasa.
Hal ini
juga
berlaku
untuk
wanita
hamil
dan
menyusui
jika
keduanya
khawatir
–Abu Daud
mengatakan:
khawatir
pada
keselamatan
anaknya-,
mereka
dibolehkan
tidak
berpuasa,
namun
keduanya
tetap
memberi
makan
(kepada
orang miskin). (HR. Abu Daud
no. 2318)Ayat ini juga dalil bahwa wanita hamil atau meyusui dan merasa berat menjalankan puasa dapat memilih untuk membayarkan fidyah saja.
Pendapat Mazhab Hanafi (Qada tanpa Fidyah)
As-Sarakhsi* (w.483H) salah seorang ulama Hanafiyah menyebutkan:
Ketika wanita hamil atau menyusui dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa, sebagaimana hadis nabi Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa.Karena kesulitan yang menimpa dirinya, maka kesulitan ini merupakan suatu udzur untuk tidak berpuasa, seperti halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa fidyah
As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 3, hal 99.
Alasan Dan Dalil Wajib Qada tanpa adanya kewajiban Fidya:
Dalil pertama Hadis Dari Anas bin Malik, ia berkata
,
إِنَّ
اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ
الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya
Allah meringankan
separuh
shalat
dari
musafir,
juga
puasa
dari
wanita
hamil
dan
menyusui.”
(HR. An Nasai
no. 2274 )
Catatan untuk ayat di atas menurut Ulama yg berpendapat cukup Qada:
- Keringanan
separuh
shalat
tentu
saja
khusus
bagi
musafir
dan
ulama
sepakat
tidak
ada
keringan
shalat
bagi
wanita
hamil
dan
menyusui.
- Keringanan
puasa
bagi
wanita
hamil
dan
menyusui
sama
halnya
dengan
keringanan
puasa
bagi
musafir.
- Dan telah
diketahui
bahwa
keringanan
puasa
bagi
musafir
yang tidak
berpuasa
adalah
mengqodhonya,
tanpa
adanya
fidyah
- Maka
berlaku
pula yang demikian
pada
wanita
hamil
dan
menyusui.
- Dari sini
juga
menunjukkan
bahwa
tidak
ada
perbedaan
antara
wanita
hamil
dan
menyusui
jika
keduanya
khawatir
membahayakan
dirinya
atau
anaknya
(ketika
mereka
berpuasa)
karena
Nabi shallallahu
‘alaihi
wa
sallam sendiri
tidak
merinci
hal
ini.”
(Ahkamul
Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi
Al Jashshosh,
1/224)
Dalil
ini
juga
dijadikan
bantahan
kepada
ulama
yg
membedakan
hukum
kepada
wanita
hamil
dan
hukum kepada wanita menyusui ketika tidak berpuasa pada bulan
Ramadhan.(mazhab maliki)
Dalil Kedua Ayat Al Baqarah
184
“Maka
barangsiapa
di antara
kamu
ada
yang sakit
atau
dalam
perjalanan
(lalu
ia
berbuka),
maka
(wajiblah
baginya
berpuasa)
sebanyak
hari
yang ditinggalkan
itu
pada
hari-hari
yang lain.”
Ulama yg mewajibkan Qada tanpa Fidyah menganggap Wanita hamil dan menyusui memiliki uzur yg bisa di samakan seperti
orang sakit. Sebagaimana
orang sakit
boleh
tidak
puasa,
ia
pun harus
mengqodho’
di hari
lain. Ini
pula yang berlaku
pada
wanita
hamil
dan
menyusui.
Karena
dianggap
seperti
orang sakit,
maka
mereka
cukup
mengqodho’
Syaikh
Ibnu
Baz rahimahullah berkata
“Hukum
wanita
hamil
dan
menyusui
jika
keduanya
merasa
berat
untuk
berpuasa,
maka
keduanya
boleh
berbuka
(tidak
puasa).
Namun
mereka
punya
kewajiban
untuk
mengqodho
(mengganti
puasa)
di saat
mampu
karena
mereka
dianggap
seperti
orang yang sakit.
Sebagian
ulama
berpendapat
bahwa
cukup
baginya
untuk
menunaikan
fidyah
(memberi
makan
kepada
orang miskin)
untuk
setiap
hari
yang ia
tidak
berpuasa.
Namun
pendapat
ini
adalah
pendapat
yang lemah.
Yang benar,
mereka
berdua
punya
kewajiban
qodho’
(mengganti
puasa)
karena
keadaan
mereka
seperti
musafir
atau
orang yang sakit
(yaitu
diharuskan
untuk
mengqodho’
ketika
tidak
berpuasa,
-pen). Hal ini
berdasarkan
firman
Allah Ta’ala
(yang artinya),
“Maka
barangsiapa
di antara
kamu
ada
yang sakit
atau
dalam
perjalanan
(lalu
ia
berbuka),
maka
(wajiblah
baginya
berpuasa)
sebanyak
hari
yang ditinggalkan
itu
pada
hari-hari
yang lain.”
Ibnu
Rusyd
Al Maliki rahimahullah mengatakan,
“Barangsiapa
yang memilih
qodho’
saja
atau
fidyah
saja
itu
lebih
utama
–wallahu
a’lam-
daripada
menggabungkan
antara
keduanya.
Adapun
memilih
mengqodho’
saja
itu
lebih
utama
daripada
memilih
menunaikan
fidyah
saja.
Alasannya
karena
qiro’ah
(yang menyebabkan
adanya
hukum
fidyah
saja
bagi
wanita
hamil-menyusui)
adalah
riwayat
yang tidak
mutawatir(Lihat
Bidayatul
Mujtahid
wa
Nihayatul
Muqtashid,
hal.
277)
Ibnu
Hazm rahimahullah,
beliau
mengatakan
terkait
pendapat
yg
membedakan
antara
ibu
hamil
dan
menyusui
“Imam Malik berpendapat
bahwa
adapun
wanita
menyusui,
maka
ia
dibolehkan
untuk
tidak
berpuasa
dan
diharuskan
untuk
mengganti
puasannya
dengan
menunaikan
fidyah
dengan
memberi
makan
kepada
orang miskin
bagi
setiap
hari
yang ditinggalkan,
dan
ia
juga
diharuskan
untuk
mengqodho’
puasanya.
Sedangkan
untuk
wanita
hamil
ia
cukup
mengqodho’,
tanpa
menunaikan
fidyah.
Mengenai
pembagian
semacam
ini
sama
sekali
tidak
diketahui
adanya
sahabat
dan
tabi’in
yang berpegang
dengannya.”(Al
Muhalla,
Ibnu
Hazm,
6/264)
Adapun
ada
riwayat
dari
sebagian
ulama
salaf
yang memerintahkan
wanita
hamil
dan
menyusui
(jika
tidak
puasa)
cukup
fidyah
(memberi
makan)
dan
tidak
perlu
mengqodho’,
maka
yang dimaksudkan
di sini
adalah
untuk
mereka
yang tidak
mampu
berpuasa
selamanya.
Dan bagi
orang yang tidak
dapat
berpuasa
selamanya
seperti
pada
orang yang sudah
tua
dan
orang yang sakit
di mana
sakitnya
tidak
diharapkan
sembuhnya,
maka
wajib
baginya
menunaikan
fidyah.
Ini
adalah
pendapat
Ibnu
Abbas ketika menafsirkan Al Baqarah 184
Dalil
ke
tiga adalah Surat Al Baqarah
185
“(Beberapa
hari
yang ditentukan
itu
ialah)
bulan
Ramadhan, bulan
yang di dalamnya
diturunkan
(permulaan)
Al Quran sebagai
petunjuk
bagi
manusia
dan
penjelasan-penjelasan
mengenai
petunjuk
itu
dan
pembeda
(antara
yang hak
dan
yang bathil).
Karena
itu,
barangsiapa
yang menyaksikan
hilal,
maka
hendaklah
ia
berpuasa
pada
bulan
itu. Dan
barangsiapa
sakit
atau
dalam
perjalanan
(lalu
ia
berbuka),
maka
(wajib
baginya
mengqodho’
puasa),
sebanyak
hari
yang ditinggalkannya
itu,
pada
hari-hari
yang lain. Allah
menghendaki
kemudahan
bagimu,
dan
tidak
menghendaki
kesukaran
bagimu.
Dan hendaklah
kamu
mencukupkan
bilangannya
dan
hendaklah
kamu
mengagungkan
Allah atas
petunjuk-Nya
yang diberikan
kepadamu,
supaya
kamu
bersyukur.”
(QS. Al Baqarah:
185)
Dalam
ayat
ini,
Allah Ta’ala
menjelaskan
bahwa
siapa
saja
yang tidak
berpuasa
karena
ada
udzur
maka
hendaklah
ia
mengqodho’
(mengganti)
puasanya
di hari
yang lain. Wanita
hamil,
wanita
menyusui,
wanita
nifas,
wanita
haidh,
kesemuanya
meninggalkan
puasa
Ramadhan karena ada udzur.
Jika
keadaan
mereka
seperti
ini,
maka wajib
bagi
mereka
mengqodho’
puasa karena
diqiyaskan
dengan
orang sakit
dan
musafir
Imam Syafi’i
dan
Imam Ahmad bin Hambal
ikut
pendapat
ini,
jika
sebabnya
karena
mengkhawatiri
keselamatan
Si Ibu,
atau
keselamatan
Ibu
dan
janin
(bayi)
sekaligus.
(si
ibu
dikhawatirkan
sakit
atau
kekurangan gizi)
As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, jilid 3, hal 99.
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
Catatan untuk ayat di atas menurut Ulama yg berpendapat cukup Qada:
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih utama –wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja. Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir(Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277)
Ibnu Hazm rahimahullah, beliau mengatakan terkait pendapat yg membedakan antara ibu hamil dan menyusui
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’ puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya.”(Al Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264)
Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah (memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya menunaikan fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ketika menafsirkan Al Baqarah 184
Pendapat Mazhab Syafi’iah dan Hambali
Asy Syairozi -salah seorang ulama Syafi’i- berkata, “Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan punya kewajiban qadha’ tanpa ada kafarah (fidyah). Keadaan mereka seperti orang sakit. Jika keduanya khawatir pada anaknya, maka keduanya tetap menunaikan qadha’, namun dalam hal kafarah ada tiga pendapat.” (Al Majmu’, 6: 177)
1. Wanita hamil atau menyusui tak sanggup berpuasa karena fisiknya(sakit). Maka Wajib Qada tanpa ada fidyah. Ini tidak khilafiyah
2. Wanita hamil atau menyusui sanggup berpuasa namun khawatir terhadap anaknya sehingga tidak berpuasa. Maka wajib Qada dan Fidyah. Ini pendapat mazhab Syafi’I dan mazhab Hambali
3. Wanita hamil atau menyusui sanggup berpuasa namun khawatir terhadap anaknya sehingga tidak berpuasa. Maka wajib Qada tanpa Fidyah.
Ibnu Qudamah (w.620 H), ulama dari mazhab hambali dalam kitabnya Al-Mughni menyebutkan:
Bagi wanita hamil ketika mengkhawatirkan kondisi janinnya, ataupun wanita menyusui yang mengkhawatirkan kondisi bayinya, jika tidak berpuasa, wajib mengqadha dan membayar fidyah untuk orang miskin dari setiap hari yang ditinggalkan. Secara umum wanita hamil dan menyusui kalau keduanya mengkhawatirkan kondisi diri mereka(sakit), maka bagi keduanya boleh tidak puasa, dan cukup bagi keduanya mengqadhanya saja.[
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3, hal 149
Pendapat Mazhab Maliki
Imam Malik
(w.179H) yang merupakan pendiri madzhab Maliki, beliau menyebutkan dalam
kitabnya Al-Mudawanah:
Jika bayi seorang wanita bisa menerima ASI dari selain ibunya, dan ibunya juga mampu menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewakan ibu susuan bagi bayinya. Tapi kalau sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka, dimana dia harus mengqadha dan membayar fidyah dari setiap hari yang dia tidak berpuasa, yaitu satu mud untuk orang setiap orang miskin. Kemudian imam Malik menyebutkan: bagi wanita hamil tidak wajib membayar fidyah. Kalau dia telah sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan.
Malik, Al-Mudawanah, jilid 1, hal 278
Bantahan yg hanya wewajibkan Fidyah semata, tanpa QadaDalil-dalilnya:
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.” (Syarhul Mumthi’, 6: 350
Ibnu Qudamah berkata, “Wanita hamil dan menyusui adalah orang yang masih mampu mengqadha’ puasa (tidak sama seperti orang yang sepuh). Maka qadha’ tetap wajib sebagaimana wanita yang mengalami haidh dan nifas.
Sedangkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 menunjukkan kewajiban fidyah, namun itu tidak menafikan adanya qadha’ puasa karena pertimbangan dalil yang lain
"(yaitu)
dalam
beberapa
hari
yang tertentu.
Maka
barangsiapa
diantara
kamu
ada
yang sakit
atau
dalam
perjalanan
(lalu
ia
berbuka),
maka
(wajiblah
baginya
berpuasa)
sebanyak
hari
yang ditinggalkan
itu
pada
hari-hari
yang lain. Dan
wajib
bagi
orang-orang yang berat menjalankannya
(jika
mereka
tidak
berpuasa)
membayar
fidyah,
(yaitu):
memberi
makan
seorang
miskin.
Barangsiapa
yang dengan
kerelaan
hati
mengerjakan
kebajikan,
maka
itulah
yang lebih
baik
baginya.
Dan berpuasa
lebih
baik
bagimu
jika
kamu
mengetahui."
(AL Baqarah
184)
Dalam Al Baqarah ayat 184 di atas orang yg tidak sanggup berpuasa di berikan pilihan untuk mencukupkan dengan membayar Fidyah. Namun di ayat selanjutnya (Al Baqarah 185) ada hukum yg mewajibkan mereka yg tidak berpuasa pada bulan Ramadhan wajib menggantinya di hari-hari yg lain:
“(Beberapa
hari
yang ditentukan
itu
ialah)
bulan
Ramadhan, bulan
yang di dalamnya
diturunkan
(permulaan)
Al Quran sebagai
petunjuk
bagi
manusia
dan
penjelasan-penjelasan
mengenai
petunjuk
itu
dan
pembeda
(antara
yang hak
dan
yang bathil).
Karena
itu,
barangsiapa
yang menyaksikan
hilal,
maka
hendaklah
ia
berpuasa
pada
bulan
itu. Dan
barangsiapa
sakit
atau
dalam
perjalanan
(lalu
ia
berbuka),
maka
(wajib
baginya
mengqodho’
puasa),
sebanyak
hari
yang ditinggalkannya
itu,
pada
hari-hari
yang lain. Allah
menghendaki
kemudahan
bagimu,
dan
tidak
menghendaki
kesukaran
bagimu.
Dan hendaklah
kamu
mencukupkan
bilangannya
dan
hendaklah
kamu
mengagungkan
Allah atas
petunjuk-Nya
yang diberikan
kepadamu,
supaya
kamu
bersyukur.”
(QS. Al Baqarah:
185)
Fuqaha Menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 184
ini, bagi mereka yg berat menjalankannya adalah mereka yg memang tidak lagi sangup berpuasa seperti orang tua atau orang yang sakit secara terus menerus. Sebagaimana perkataan Ibnu
Abbas ketika menafsirkan ayat ini.
Hukum Puasa Qada yang terlewat
Orang sakit, musafir, ibu hamil dan menyusui punya kewajiban mengQada puasa sebagaimana pendapat mazhab2 yg ada. Namun bagaimana hukumnya bila terlewat/tidak sempat sehingga bertemu Ramadhan berikutnya.
Berikut khilafiyahnya
Berikut khilafiyahnya
1.Wajib melanjutkan Qada Puasa di tahun berikutnya dan membayar Fidyah. Ini adalah pendapat jumhur Ulama mazhab Maliki, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad
2.Wajib melanjutkan Qada Puasa di tahun berikutnya namun tidak perlu membayar Fidyah. Pendapat Ulama Mazhab Hanafi dan Imam Hasan Al
Bashri. Ini pendapat
yg di ikuti warga Nahdiyin dan Tarjih Muhammadiyah.
Dalil Ulama Yang Mewajibkan Qada pada Tahun berikutnya dan membayar Fidyah karena terlewat kewajiban Qada Puasa pada Tahun sebelumnya
yang wajib qadha dan fidyah] adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha) puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba) didasarkan pada hadits, ‘Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang
sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,’ HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi.
Pendapat ini adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meninggalkan kewajiban mengqadha‘ puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar‘i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan. Karena itu wajib mengqadha‘ serta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah).
Fidyah yg di bebankanpun berlipat mengikuti berapa tahun telah di lalui. Ini pendapat mazhab syafii.
Maksudnya berlipat. :
- Misal tahun 2013 kita tidak berpuasa Ramadhan selama 10 hari. Saat ini adalah tahun 2018.
- Dari tahun 2013 – 2018 puasa 10 hari tersebut belum di bayar. Maka kita telah meninggalkan puasa Wajib selama 5 Tahun
- Setiap Tahun kafarat fidyah yg harus di bayarkan adalah 1 mud. Karena telah berlangsung selama 5 tahun maka kafaratnya adalah 1 x 5 = 5 mud.
- Jadi untuk 10 hari yg kita tinggalkan kita wajib membayar kafarat 5 mud untuk jangka 1 tahun
- 1 mud = 0.688 liter beras
- 5 mud = 3.44 liter beras
- 1 liter beras yg biasa dimakan = 10.000
- Maka fidyah berupa uang adalah 3.44*10.000 = 34.400
- Dan akan terus meningkat selama Qada puasa tidak di jalankan
Dalil Ulama Yang Mewajibkan Qada pada Tahun berikutnya tanpa membayar Fidyah karena terlewat kewajiban Qada Puasa pada Tahun sebelumnya
1. Menurut mereka tidak boleh kita mengqiyas ibadah puasa seperti pendapat sebelumnya. Karena orang yang sengaja meninggalkan puasa Ramadhan tanpa ada uzur Syar’i tidak bisa di samakan dengan orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena memang ada uzur yang di perbolehkan secara syar’i.
2. Sedangkan dalil yang menerangkan waktu Qada pada hari-hari lain tidak sebutkan secara jelas batas akhir waktu kapan mengganti puasa. Dalil yang ada hanya menjelaskan hukum orang yang meninggalkan puasa ramadhan dan apa kafaratnya.
Sebagai catatan. Pendapat ulama terkait Qada Puasa yang
terlewat adalah terkait karena adanya uzur. Maka hukumnya adalah mengQada pada tahun berikutnya tanpa di kenaik Fidyah dan tidak berdosa.
Bila tidak sempat dan telah sampai pada ajalnya, makwa walinya yg paling dekat melanjutkan kewajiban dia berpuasa.
Bila sengaja meninggalkan Qada puasa maka berlaku kafarat di mana harus menjalankan Qada puasa padah tahun berikutnya dan Fidyah. Dan diapun harus bertaubat, karena hal tersebut adalah dosa.
Bila tidak sempat dan telah sampai pada ajalnya, makwa walinya yg paling dekat melanjutkan kewajiban dia berpuasa.
Bila sengaja meninggalkan Qada puasa maka berlaku kafarat di mana harus menjalankan Qada puasa padah tahun berikutnya dan Fidyah. Dan diapun harus bertaubat, karena hal tersebut adalah dosa.
Hukum Puasa Qada Bagi Mereka yang telah meninggal
“Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan kewajiban qadha puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuk menggantikannya.” (HR Bukhari).
Menurut Hanafi, Syafi’I, dan Hanbali, anak yang tertua tersebut harus menyedekahkan hartanya satu mud setiap hari untuk puasa yang ditinggalkan orang tuanya.
Menurut Mazhab Maliki, sang wali harus menyedekahkannya selama ia berwasiat untuk bersedekah. Tetapi, bila tidak, ia tidak wajib bersedekah.
Hukum Lupa jumlah bilangan puasa wajib yg telah di tinggalkan
Dalam keadaan seperti ini, alangkah bijak jika kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum. Lantaran kelebihan hari qadha' puasa adalah lebih baik ketimbang kurang. Dimana kelebihan hari qadha' tersebut akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai tersendiri.
Puasa Qada bagi orang Tua atau orang sakit yg tidak lagi mampu berpuasa
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: "Telah diringankan bagi orang yang sudah tua untuk berbuka puasa (di bulan Ramadhan) dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap hari (sesuai dengan hari yang ia tidak puasa) dan tidak wajib mengganti dengan puasa (qada)." [HR. al-Hakim, hadis ini shahih menurut syarat al-Bukhari]
Takaran Fidyah
Ada perbedaan pendapat terkait takaran Fidyah
- Syaik Utsaimin: 1 mud (0.42 kg Gandum) atau 2 Mud untuk selain gandum
- Al Lajnah Ad Daimah, Syaikh Bin Baz, Syaikh Sholih Al Fauzan : setengah sho dari makan pokok di negri masing2 (2 mud atau 1.5 Kg Beras)
- Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa kadar fidyah adalah 1 mud bagi setiap hari tidak berpuasa
- ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kadar fidyah yang wajib adalah dengan 1 sho’ kurma, atau 1 sho’ sya’ir (gandum) atau ½ sho’ hinthoh (biji gandum)
- Anas Bin Malik: satu porsi makanan yang masak beserta lauk pauknya
Cara Pembayaran Fidyah
- Semua dalil yang ada menunjukan bahwa Fidyah diperuntukan untuk membari makan orang miskin
- Ulama berbeda pendapat apakah boleh di konversi kedalam bentuk uang
- Ulama yg membolehkan mengkonversi kedalam bentuk uang sepakat tidak boleh di berikan kepada seorang yg teridikasi akan di gunakan untuk berfoya2, perkara sybhat atau bahkan haram atau lembaga yg tidak bisa di percaya
- Ulama yg membolehkan mengkonversi kedalam bentuk uang sepakat bahwa si lembaga penyalur dana fidyah harus di berikan ke yg berhak dalam bentuk makanan. Bukan sejumlah uang yg takarannya menselisihi dalil yg ada
- Adapun memberikan seluruh fidyah kepada satu miskin saja, maka sebagian fuqaha melarangnya karena tidak sesuai dengan nas-nas diatas, namun Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ membolehkannya.
Jumhur ulama (syafi’I, ahmad, lembaga fatwa arab Saudi) berpedapat mengikuti keaslian ayat tersebut (yakni berupa makanan)
Mazhab Hanafi boleh mengkonversi nilainya kedala uang, melihat kemashlatan yg ada
Mazhab Hanafi boleh mengkonversi nilainya kedala uang, melihat kemashlatan yg ada
Cara membayar fidyah dengan memberikan makanan kepada orang miskin ada dua:
Pertama, dengan dibuatkan makanan (siap saji), kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari puasa yang ditinggalkan, sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radliallahu ‘anhu ketika di sudah tua.
Kedua, memberi bahan makanan kepada mereka yang belum dimasak. Para ulama mengatakan: besarnya: 1 mud (0,75 kg) untuk gandum atau setengah sha’ (2 mud = 1,5 kg) untuk selain gandum….. akan tetapi, untuk pembayaran fidyah model kedua ini, selayaknya diberikan dengan sekaligus lauknya, baik daging atau yang lainnya. Sehingga bisa memenuhi makna teks ayat
Sumber:
https://rumahfiqih.com/y.php?id=513&konsekuensi-bagi-ibu-hamil-dan-menyusui-yang-meninggalkan-puasa-qadha-atau-fidyah.htm#_ftn2
https://rumaysho.com/7700-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui-apakah-wajib-qadha.html
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/07/08/mplngp-apa-sanksi-menunda-qadha-puasa
https://rumaysho.com/1085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-184
https://konsultasisyariah.com/5898-ukuran-fidyah.html
https://rumaysho.com/1140-cara-pembayaran-fidyah-puasa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakan kata-kata yang cerdas dan tidak merendahkan. Silahkan mengkritik bila ada yang menyimpang dari Ajaran Rasulullah. ^,^