Translate

10 Sep 2015

Dikusi boleh, Debat JANGAAAAN......


Diskusi vs Debat

Dikusi vs Debat

Teryata banyak sekali yang tidak memahami perbedaan antara diskusi dan debat, bahkan mereka yang mengaku2 dan mengidolakan logika. Ada sebuah komentar menarik. "kemana pak Guntur, dia gak muncul lagi. Berarti dia kalah". kata seseorang padaku dalam sebuah kometar ketika membahas masalah sekuler-liberal.

Jelas sekali, bahwa mereka tidak paham mengapa saya meninggalkan perkara yang dilarang Rasulullah yakni "Berdebat dalam masalah agama", karena pada dasarnya memang mereka tidak paham ajaran2 syariat.

Loh lalu apa bedanya debat dan diskusi?




* Diskusi adalah sebuah interaksi komunikasi antara dua orang atau lebih/kelompok. Biasanya komunikasi antara mereka/kelompok tersebut berupa salah satu ilmu atau pengetahuan dasar yang akhirnya akan memberikan rasa pemahaman yang baik dan benar. Diskusi bisa berupa apa saja yang awalnya disebut topik. Dari topik inilah diskusi berkembang dan diperbincangkan yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu pemahaman dari topik tersebut.
(Sumber : wikipedia.org)

* Debat adalah kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Secara formal, debat banyak dilakukan dalam institusi legislatif seperti parlemen, terutama di negara-negara yang menggunakan sistem oposisi. Dalam hal ini, debat dilakukan menuruti aturan-aturan yang jelas dan hasil dari debat dapat dihasilkan melalui voting atau keputusan juri.(sumber: id.wikipedia.org)

Intinya perbedaan diskusi dan debat adalah, dalam diskusi tidak ada yang namanya MENANG dan KALAH melainkan bertukar pikiran/Informasi. Tidak selalu hasil diskusi menemukan titik temu. Sebaliknya dalam debat itu ada yang menang dan ada yang kalah. Tujuan debat bukanlah mencari titik temu, tapi mencari siapa yang argumentasinya paling kuat.

Perbedaan yang lain adalah dalam diskusi, keilmuan itu harus di kedepankan, atau setidaknya keilmuan itu menjadi pokok utama berjalannya diskusi. Sedangkan dalam debat, perasaan, kemampuan berbicara, banyaknya informasi, mengolah kata dan jumlah orang itu lebih utama. Kebenaran sering kali di rancukan oleh jumlahnya suara dan dominasi seseorang dalam sebuah debat.

Dalam debat tidak masalah bila kau tidak memiliki ilmu, selama kau pintar ngomong dan bisa berlogika maka kau pun bisa menjadi pemenang. Tapi tidak dalam diskusi. Mereka yang tidak mumpuni ilmunya, akan kesulitan mengikuti dan memahami apa yg disampaikan temannya. Itu sebabnya sering kali dalam diskusi dimana di dalamnya berisikan orang-orang tidak berilmu akan jatuh ke dalam debat. Mereka yg mengerti akan dengan mudah meninggalkan begitu saja debat itu, dan mereka yang tidak mengerti tidak akan mengerti mengapa  orang itu meninggalkan perdebatan yang sedang berlangsung.

Lalu dari mana melihatnya bahwa diskusi sudah menjadi perdebatan yang tiada ujung?
mudah. begini.... dalam diskusi ada yang namanya tanya jawab dan referensi/dasar. Bila temanmu hanya bertanya tapi tidak pernah menjawab pertanyaanmu, maka hal ini tidak lagi dinamakan diskusi. Atau temanmu menjawab tapi jawabannya sering kali bertentangan dengan pendapat umum yang telah disepakati, maka dia hanya asal menjawab atau mengajak berdebat. Misal pendapat umum telah menyepakati bumi itu bulat, bila temanmu mengatakan bumi itu segitiga dll maka itulah yang kita sebuat asal ngomong.

Itu sebabnya dalam debat perlu adanya moderator. Bila dalam persidangan hakimlah yang menjadi penengah/ moderator tersebut. Karena bila tidak, maka debat tidak akan pernah berakhir dan akan meluas kemana-mana, keluar dari inti persoalan. Sedangkan dalam diskusi perserta diskusi akan sadar bila ternyata hasil diskusinya tidak mencapai titik temu. Mereka akan bersepakat mengakhirinya.

Itu sebabnya sering kali bila mencoba diskusi dengan orang sekuler dan liberal hanya akan jatuh dalam perdebatan. Karena pada dasarnya mereka tidak menguasai apa yang mereka perkarakan. Ambil contoh ketika mempermasalahkan perbuatan maksiat, pada akhirnya mereka mengatakan "Kita tidak perlu mentaati ayat-ayat suci. Tapi kita harus taat pada ayat-ayat konstitusi". Ketika pada taraf ini, mereka yang paham agama pasti akan mengakhiri diskusi, karena mereka tahu bahwa bila diteruskan, lawan debatnya tersebut akan semakin jatuh dalam kesesatannya sendiri.

Atau ketika berbicara masalah Ketuhanan. Kita bertanya kepada orang sekular "Bila semua kekayaan ditanganmu, bila hukum berada di bawah kekuasaanmu maka apa yang bisa mencegahmu atau yang membuatmu takut, sehingga tidak melakukan kedzaliman(ex:Korupsi)". Padahal jawabannya sederhana. "Kekuasaan Tuhan"

Tapi tentu mereka lebih cendrung menghindar.

Atau bila ditanya "mana dasarnya dari Al-Qur'an dan As-sunnah sehingga pendapatku kalian katakan salah". Mereka akan beragumen lain, atau menyalahkan dengan logika2, tidak dengan menggunakan dalil2 yang ada. Mengapa? Karena mereka sendiri tidak paham Al-Quran dan As-Sunah. Tidak mungkin seseorang yang paham Agamanya akan menjelek2an ajaran agamanya itu sendiri.

Ada Komentar yang sangat menarik dari tokoh partai sekuler terbesar di negara kita, ketika dia di tanya "mengapa ibu tidak berjilbab"
dia menjawab. "Yang penting itu hatinya".
Coba lihat! betapa rusaknya orang sekuler itu. Mari Bandingkan pendapat tokoh sekuler itu dengan IBLIS.

Sekarang coba jawab, bila iman itu yg penting hatinya, maka mana yang lebih beriman IBLIS atau orang tersebut? Dalam Al-Quran bahkan kitab nasrani pun di jelaskan bahwa Iblis berdialog dengan Tuhan. Allah menyeru Iblis untuk tunduk kepada nabi Adam AS. Tapi Iblis enggan. bukahkah ini berarti IBLIS percaya betul bahwa Allah itu ada.

Bila Iman itu yg penting Hatinya. Jelas Iblis lebih yakin Allah itu ada dari pada si sekuler itu. Lalu mengapa Iblis di katakan "KAFIR"?
Itu karena Iblis tidak mau mengatakan bahwa dia Beriman dan mengakui kemuliaan Rasul-rasul Allah. Iblis Juga tidak mau mengamalkan apa yang di Perintahkan Allah. Lalu bila Allah memerintahkan untuk berjilbab, dan engkau menjawabnya "yg penting iyu hatinya", maka perbedaan dirimu dengan IBLIS itu apa?

Di sinilah letaknya perbedaan mereka yang berilmu dengan yang tidak. Mereka yang tidak berilmu menjawab sesuatu hanya berdasarkan apa yang menurutnya logis untuk di katakan tanpa tahu bahwa apa yang di katakannya itu membuatnya tidak jauh berbeda dengan Iblis. Sedangkan orang berilmu mengatakan apa yang benar menurut nash2/ dalil2 yang ada. Orang tidak berilmu menjadikan Logika sebagai alat mencari pembenaran, sedangkan orang berilmu menjadikan logika sebagai alat untuk mencari kebenaran.

Ini adalah cerita dan nasihat yg menarik dari zaman salafus shalih tentang perdebatan:
“Pada suatu hari Imam Malik ibn Anas berangkat ke masjid sambil berpegangan pada tangan saya, lalu beliau dikejar oleh seseorang yang dipanggil dengan Abu al-Juwairah yang dituduh memiliki Aqidah Murji’ah.”

Dia berkata:
‘Wahai Abu Abdillah dengarkanlah dariku sesuatu yang ingin saya kabarkan kepada anda, saya ingin mendebat anda dan memberi tahu anda tentang pendapatku.’

Imam Malik berkata:
‘Hati-hati, jangan sampai aku bersaksi atasmu.’

Dia berkata,
‘Demi Allah, saya tidak menginginkan kecuali kebenaran. Dengarlah, jika memang benar maka ucapkan.’

Imam Malik bertanya,
‘Jika engkau mengalahkan aku?’

Dia menjawab,
‘Maka ikutlah aku!’

Imam Malik bertanya lagi,
‘Kalau aku mengalahkanmu?’

Dia menjawab,
‘Aku mengikutimu?’

Imam Malik bertanya,
‘Jika datang orang ketiga lalu kita ajak bicara dan kita dikalahkannya?’

Dia berkata,
‘Ya kita ikuti dia.’

Imam Malik rahimahullah berkata:
“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah”.”

Imam Malik rahimahullah berkata:
”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”

Imam Malik rahimahullah berkata:
“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”

Imam Malik rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”

Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,
”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.”

(Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)





Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru r.a., ia berkata, “Pada suatu hari aku datang menemui Rasulullah saw pagi-pagi buta. Beliau mendengar dua orang lelaki sedang bertengkar tentang sebuah ayat. Lalu beliau keluar menemui kami dengan rona wajah marah. Beliau berkata, ‘Sesungguhnya, perkara yang membinasakan ummat sebelum kalian adalah perselisihan mereka al-Kitab’.” (HR Muslim [2666]).

Diriwayatkan dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya (yakni ‘Abdullah bin ‘Amru r.a.), bahwa suatu hari Rasulullah saw. mendengar sejumlah orang sedang bertengkar, lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya, ummat sebelum kalian binasa disebabkan mereka mempertentangkan satu ayat dalam Kitabullah dengan ayat lain. Sesungguhnya Allah menurunkan ayat-ayat dalam Kitabullah itu saling membenarkan satu sama lain. Jika kalian mengetahui maksudnya, maka katakanlah! Jika tidak, maka serahkanlah kepada yang mengetehuinya.” (Hasan, HR Ibnu Majah [85], Ahmad [II/185, 195-196], dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [121]).

Sebagaimana dinukil Imam al-Ajuri dalam kitab beliau asy-Syari’ah dari Ibnu Sirrin, beliau berkata kepada seseorang yang mengajak beliau untuk berdebat, “Aku mengerti apa yang engkau inginkan; dan sebenarnya aku lebih pandai bersilat lidah daripada kamu, tetapi aku tidak berselera untuk berdebat denganmu.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimi menjelaskan bahwa salafus shalih adalah orang-orang yang tidak menyukai debat dan perselisihan dalam agama, namun demikian terkadang mereka mau berdebat dan adu hujjah, jika memang dibutuhkan dan terpaksa atau dalam rangka mengenyahkan kerusakan dan kebathilan.

Beliau berkata lagi di dalam kitab Darut Ta’arud an Naqli wal ‘Aqli, bahwa sesuatu yang tercela menurut kacamata syar’i adalah sesuatu yang dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti debat dalam rangka membenarkan yang bathil dan debat kusir (tanpa ilmu) dan mendiskusikan sebuah kebenaran yang jelas dan gamblang (seperti wajibnya shalat dan lain-lain).

Adapun debat yang sesuai syari’at (dalam rangka mendakwahi orang-orang jahil, atau dalam rangka sama-sama mencari kebenaran) adalah yang diperintahkan Allah seperti dalam firman-Nya,

“Mereka berkata, Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami.” (QS. Hud:32)

Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. al-An'am:83)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim mengatakan, Rabbku ialah yang menghidupkan dan mematikan, orang itu berkata, Saya dapat menghidupkan dan mematikan. Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat, lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah:258)

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl:125) dan ayat-ayat lain yang semisalnya. Bahkan justru merupakan sesuatu yang wajib atau mustahab (yang dianjurkan). Jidal (adu hujjah) seperti ini tidaklah dilarang dan dicela oleh syari’at.

Beliau juga berkata, “Jadi,yang dimaksud larangan para salaf dalam berdebat adalah yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat untuk melakukan perdebatan (kurang ilmu dan lain-lain) atau perdebatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan yang pasti; berdebat dengan orang yang tidak menginginkan kebenaran, serta berdebat untuk saling unjuk kebolehan dan saling mengalahkan yang berujung dengan ujub (bangga diri) dan kesombongan.

Jidal (adu hujjah) adalah masalah yang hukumnya belum pasti; dan untuk menentukan hukum tentang masalah ini, tergantung kepada kondisi yang ada. Sedangkan debat yang sesuai dengan syari’at, maka hukumnya terkadang wajib dan terkadang mustahab.

Kesimpulannya, debat itu terkadang terpuji dan terkadang tercela; terkadang membawa mafsadat (kerusakan) dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan); terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.

[Diringkas dan diterjemahkan dari tulisan Dr.‘Adil al-Muthayyarot dalam Majalatil Furqaan ‘adad 227]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gunakan kata-kata yang cerdas dan tidak merendahkan. Silahkan mengkritik bila ada yang menyimpang dari Ajaran Rasulullah. ^,^